www.unesa.ac.id
Unesa.ac.id., SURABAYA—Keberhasilan seorang dipengaruhi banyak faktor, di antaranya yaitu self-efficacy (rasa berhasil) yang berperan penting dalam tindakan, usaha dan keputusan seseorang. Perihal self-efficacy ini sudah diteliti Prof. Dr. Najlatun Naqiyah, M.Pd., Guru Besar Ilmu Konseling, Universitas Negeri Surabaya (UNESA) sejak 14 tahun lalu dalam berbagai aspek dan kondisi (setting).
Menurutnya, self-efficacy yang secara sederhana dapat dipahami sebagai rasa berhasil ini menjadi kekuatan bagi individu dalam mencapai hasil yang diharapkan. Self-efficacy atau efikasi diri merupakan keyakinan seseorang berdasarkan kemampuan untuk meraih kesuksesan yang akan datang. Rasa percaya ini menyangkut kemampuan, dorongan individu untuk melakukan banyak usaha agar dapat berhasil.
Perasaan ini, lanjutnya, memiliki hubungan dengan faktor kesehatan mental seseorang dan memiliki fungsi sebagai energi individu menggerakkan usaha dan tekun mencapai hasil yang telah ditentukan. Perasaan ini juga menjadi dasar bagi individu untuk melahirkan alternatif inovasi dan kreativitas.
"Individu yang memiliki rasa berhasil cenderung punya dorongan untuk melakukan usaha, mengatur waktu dan membuat strategi efektif mencapai target yang telah ditentukan," terangnya dalam pidato guru besar "Konseling Berbasis Nilai Religius dan Perilaku Positif untuk Meningkatkan Self-Efficacy (Rasa Berhasil) Siswa: Studi Kasus di Pondok Pesantren di Rektorat UNESA pada Selasa, 25 Juli 2023.
Riset di Sekolah dan Ponpes
Dari berbagai hasil risetnya, dalam aspek akademik misalnya menghasilkan hubungan positif antara self-efficacy dengan prestasi akademik siswa atau mahasiswa baik yang high achiever maupun low achiever. "Kami sudah melakukan riset dengan berbagai setting. Hasilnya, self-efficacy memiliki pengaruh bagi aspek belajar, karir, pribadi hingga sikap sosial siswa. Self-efficacy yang rendah memiliki dampak pada kegagalan siswa. Mereka bisa cepat menyerah, putus asa dan lain-lain," bebernya.
Ada beberapa permasalahan yang bisa menurunkan self-efficacy seseorang yaitu bisa karena kemampuan mengelola rasa bosan, manajemen waktu-emosi, kedisiplinan, keberhasilan hingga persoalan adaptasi. Selain itu, juga bisa karena pengaruh bullying dari lingkungan, permasalahan keluarga hingga kemampuan bergaul.
"Yang bisa dilakukan agar siswa punya self-efficacy yang tinggi di antaranya, bisa dengan perilaku positif kiai atau nyai kalau di ponpes, guru atau kepala sekolah kalau di sekolah, termasuk orang tua siswa itu sendiri. Nasehat dan cerita pengalaman juga bisa membantu anak memiliki rasa berhasil. Termasuk, membiasakan mereka disiplin, beribadah, rajin belajar pun sangat membantu," ucapnya.
Komunitas Kanker dan ODHA
Riset dan pengembangan self-efficacy itu, juga dilakukan di komunitas kanker dan orang dengan HIV/Aids atau ODHA. Risetnya itu menghasilkan buku panduan self-efficacy untuk ODHA. Selain itu, juga melakukan riset di komunitas kanker. Hasilnya risetnya ternyata efikasi diri berhasil meningkatkan ketekunan, keuletan dan kesabaran pasien dalam berobat.
Selanjutnya, riset self-efficacy di pesantren menghasilkan aplikasi IGCA (Islamic Guidance and Counseling Application) untuk siswa berbasis asrama. Kemudian, penelitian konseling cognitive behavioral therapy atau CBT bisa digunakan untuk kasus kecemasan, depresi, gangguan emosi hingga psikologis.
"Untuk yang aplikasi itu masih tahap offline dan masih terbatas digunakan konselor sekolah. Karena itu, aplikasi tersebut terus dikembangkan agar bisa digunakan secara masif dan menjangkau seluruh siswa menengah pertama dan atas di ponpes. Pengembangan aplikasi itu kami bermitra dengan Yayasan Syekh Abdul Qodir Al-Jailani," kata dosen bimbingan dan konseling itu. [*]
***
Tim Penulis: Muhammad Azhar Adi Mas’ud/Fionna Ayu Sabrina
Sumber: Disari dari wawancara dan pidato Pengukuhan Guru Besar UNESA di Auditorium, Rektorat, pada Selasa, 25 Juli 2023.
Foto: Dokumentasi Tim Humas
Share It On: