Konsul Xu Yong bersama para delegasi di Konsulat Jenderal Tiongkok di Surabaya (foto: dok Konjen Tiongkok di Surabaya)
Unesa.ac.id. SURABAYA—Dalam rangka memperingati 70 tahun perilisan Lima Prinsip Hidup Berdampingan secara Damai (the Five Principles of Peaceful Coexistence), Konsulat Jenderal Tiongkok di Surabaya mengadakan dialog istimewa yang dihadiri oleh sejumlah akademisi dan tokoh masyarakat.
Acara ini berlangsung di kediaman Konsul Jenderal Tiongkok di Surabaya dan dihadiri oleh beberapa tokoh penting termasuk Rektor Machung, Prof. Dr. Ir. Stefanus Yufra M. Taneo, M.S., M.Sc; dekan dan akademisi dari Universitas Ciputra, Johan Hasan; Direktur Confucius Institute Unesa, Sueb; penulis dan peneliti, Novi Basuki; serta dosen Prodi Mandarin UNESA, Muhammad Farhan Masrur;
Delegasi diterima langsung oleh Konsul Jenderal Tiongkok di Surabaya, Mr. Xu Yong. Dialog yang berlangsung selama tiga jam ini menekankan relevansi Lima Prinsip Hidup Berdampingan secara Damai (FPPC) yang dipadukan dengan Dhasasila Bandung pada Konferensi Asia-Afrika. Prinsip-prinsip ini masih sangat relevan sebagai nilai-nilai universal dalam hidup damai, terutama di tengah kondisi dunia yang sedang dilanda berbagai konflik.
Dalam dialog ini, para delegasi menyampaikan pandangan mereka sesuai dengan kepakaran masing-masing. Rektor Machung, Prof. Dr. Ir. Stefanus Yufra M. Taneo, menyoroti bagaimana FPPC menjadi rujukan penting dalam memahami dinamika perekonomian dan investasi Tiongkok di Indonesia.
Sementara itu, Direktur CI Unesa, Bapak Sueb, memaparkan peran CI Unesa dalam soft diplomacy di bidang pendidikan dan kebudayaan yang konsisten sejalan dengan prinsip hidup damai dan berdampingan.
Novi Basuki menekankan bahwa nilai-nilai FPPC tetap relevan hingga saat ini dalam menciptakan perdamaian, baik di tingkat domestik maupun internasional, dengan menyatakan bahwa "mustahil ada kemajuan tanpa adanya perdamaian."
Dosen Prodi Mandarin Unesa, Muhammad Farhan Masrur, berbicara mengenai stigma di masyarakat yang masih dipengaruhi oleh sudut pandang lama. Sebagai pengajar bahasa Mandarin, ia berharap pembelajaran bahasa Mandarin dapat membantu membuka mindset bersama melalui bahan ajar yang kontekstual, pertukaran pelajar, dan guru.
Konsul Jenderal Tiongkok, Mr. Xu Yong, dalam sambutannya menekankan bahwa hidup berdampingan secara damai adalah landasan untuk menciptakan masa depan yang ditanggung bersama. Ia juga menekankan pentingnya setiap negara untuk bekerja sama dalam menciptakan dunia yang lebih baik.
Selama 70 tahun ini, Lima Prinsip Hidup Berdampingan secara Damai telah mendalam di hati masyarakat dan dimasukkan dalam serangkaian dokumen internasional yang penting.
"Lima prinsip telah diakui secara luas dan diikuti oleh komunitas internasional, menjadi norma dasar hubungan internasional dan prinsip dasar hukum internasional yang terbuka, inklusif dan berlaku secara universal," ucapnya.
Dunia saat ini sedang mengalami perubahan besar yang belum pernah terjadi sebelumnya selama 100 tahun ini. Pola internasional sedang mengalami perubahan besar, perdamaian dan pembangunan dihadapkan dengan berbagai tantangan.
Dihadapkan pada isu utama “dunia seperti apa yang harus kita bangun dan bagaimana membangun dunia ini?” Tiongkok telah memberikan jawaban zaman, yaitu membangun komunitas senasib sepenanggungan umat manusia.
Selama dialog juga disampaikan bagaiana sikap Tiongkok terhadap konflik di Gaza, yang mana masyarakat Indonesia merupakan negara yang paling banyak mengkuti konflik ini, Tiongkok mendukung gencatan senjata dan berharap bangsa Palestina dapat menentukan nasib bangsanya sendiri tanpa intervensi pihak lain.
Dialog berlangsung sangat hangat dan intens, dengan para delegasi tidak hanya menyampaikan gagasan tentang FPPC, tetapi juga menyampaikan beberapa usulan konkrit untuk memperkuat kerja sama antar negara dalam berbagai bidang.[*]
Penulis: Tim CI UNESA
Foto: Konjen Tiongkok di Surabaya
Share It On: