Unesa yang akan merayakan hari ulang tahun ke-47 ini makin meneguhkan perannya sebagai Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) ternama di tingkat nasional melalui lulusannya yang berkarakter. Tampaknya motto Unesa "Growing with Character " yang diresmikan seiring dengan logo baru Unesa setahun yang lalu itu relevan dengan produknya (lulusan). Hal itu terlihat dari peran lulusan Unesa yang banyak menjadi tokoh penting di negeri ini, khususnya dalam bidang pendidikan.
Salah satu tokoh itu adalah Praptono M.Ed., Kepala Seksi Penilaian dan Akreditasi, Subdit Pembelajaran, Direktorat Pembinaan Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus Pendidikan Dasar (PPKLK-PD) Kemdikbud. September lalu, saat pembukaan Olimpiade Sains Nasional 2011 di Manado, sebagai Ketua Program Kerja IE Award, ia bekerjasama dengan Helen Keller International (HKI) dan didukung United States Agency for International Development (USAID) merintis "Anugerah Pendidikan Inklusi 2011 " atau "Inclusive Education Award 2011 " (IE Award 2011).
Menurutnya, IE Award itu bertujuan untuk lebih memasyarakatkan sekolah inklusi, karena masih banyak pihak yang meragukan sekolah inklusi, meski Permendiknas 70/2009 sudah lama mengatur perlunya Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) masuk sekolah regular. Ia menyatakan keraguan itu tidak beralasan, karena ada dua dampak penting dari sekolah inklusi yakni siswa ABK akan lebih berprestasi dan siswa non-ABK akan lebih memiliki rasa sosial atau kepedulian terhadap sesama yang lebih tinggi. "Kalau ada guru yang bilang perlu kemampuan khusus untuk mengajar siswa ABK, saya kira hal itu tidak sepenuhnya benar, karena siswa ABK itu umumnya hanya membutuhkan empati, kepedulian, dan pelibatan, sehingga kompetensi secara khusus tidak terlalu penting, " ujarnya.
Selain itu, alasan siswa ABK dapat merusak citra sekolah terkait Ujian Nasional (UN) juga tidak benar, karena Permendiknas sudah mengatur modifikasi kurikulum tanpa UN, sehingga siswa ABK dapat diuji sesuai tingkat akademisnya melalui Ujian Sekolah (US) dan hanya diberi Surat Tanda Tamat Belajar (STTB). "Karena itu, sosialisasi pendidikan inklusi masih harus digalakkan untuk mencapai target 2014 berupa pendidikan tanpa batas untuk ABK mulai dari SD, SMP, dan SMA, bukan seperti sekarang yang tercatat hanya 811 sekolah inklusi, " tambahnya.
Pada kesempatan berkunjung ke Surabaya, Bapak yang telah merintis sekolah inklusif sejak 2003 silam itu mengapresiasi kebijakan Gubernur Jawa Timur (Jatim) dalam menyelenggarakan pendidikan inklusif di 221 lembaga pendidikan dengan jumlah siswa yang terlayani 2.985 siswa tersebar di 19 kabupaten dan kota. Kebijakan pendidikan inklusif itu direalisasikan gubernur melalui Peraturan Gubernur No. 6 tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif di Provinsi Jatim.
Karena itu, Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) saat itu menyatakan Jatim sebagai provinsi pertama yang merespon Permendiknas No. 70/2009 tentang Pendidikan Inklusif, dengan menyediakan hibah BOP Pendidikan Khusus sebesar Rp.1,9 miliar. Pada pendidikan inklusif ini, para siswa yang memiliki kelainan dan potensi kecerdasan atau bakat istimewa diberi kesempatan penuh untuk mengikuti pembelajaran dalam satuan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya. Komitmen ini diambil untuk pengembangan pendidikan inklusif di Jatim, supaya tidak ada lagi diskriminasi pendidikan untuk anak-anak berkebutuhan khusus.
Banyak hal yang dilakukan oleh Pemerntah Provinsi (Pemprov) Jatim dalam mendukung pendidikan inklusif ini, di antaranya menyelenggarakan workshop bagi guru-guru pendamping inklusif. "Kami juga mengirim delegasi untuk pengembangan kompetensi SDM tenaga pendidik inklusif ke Flinders University kerjasama dengan USAID dan Helen Keller International (HKI), " lanjut Soekarwo saat diwawancarai wartawan media di Surabaya. (Bayu_Humas Unesa)
Share It On: