Selama penelusuran monitoring dan evaluasi di daerah tersebut, Muchlas mengaku banyak menemui para guru SM3T yang gigih dalam pengabdian, bahkan menurut Muchlas tidak sedikit dari peserta SM3T yang berniat kembali mengabdi di Sumba Timur. "Hingga saat ini paling tidak saya sudah mengantungi data 21 peserta dari 241 peserta asal Unesa yang berniat kembali mengabdi setelah menyelesaikan program PPG (Pendidikan Profesi Guru, red), inilah hal yang betul-betul kita harapkan," jelas Muchlas.
Program SM3T diluncurkan pada medio Desember tahun lalu di Surabaya oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Mohammad Nuh. Tujuan program ini adalah mengisi kekurangan guru pada daerah-daerah yang terkatagori terdepan, tertinggal dan terluar. Bagi Muchlas sendiri tujuan lainnya dari program ini adalah memperkenalkan pada para sarjana pendidikan yang baru saja lulus mengenai gambaran kondisi pendidikan di Indonesia, "Dengan kedua tujuan tersebut diharapkan tumbuh sebuah harapan untuk mereka mengabdi di daerah 3T tersebut".
Sebelumnya Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga, Obed Hilungara mengungkapkan bahwa kehadiran SM3T memang diharapkan mampu melapisi kekurangan guru yang selama ini menjadi persoalan pendidikan yang paling mendasar, "Kalau kita lihat dari segi guru per mata pelajaran kita mengalami kekurangan sekitar 1.030 guru dan bila dilihat dari kualifikasi akademik guru di sini baru 35% yang terkualifikasi D3,D4 atau S1 sisanya masih berpendidikan SPG setara, jadi memang program SM3T ini sangat membantu kami dalam pemenuhan kebutuhan guru tersebut," ucap Obed.
Kabupaten Sumba Timur sendiri mendapatkan lebih dari 300 guru SM3T yang terdiri dari 241 peserta asal Unesa, 60 peserta asal UNM (Universitas Negeri Makassar) dan 37 peserta yang diampu oleh Unima (Universitas Negeri Manado). Obed pun berharap dampak postif atas kehadirian guru SM3T ini terus berlanjut hingga di gelarnya Ujian Nasional (UN), karena tingkat kelulusan UN di NTT selama ini sangatlah rendah. "Dalam penempatanan guru-guru SM3T rata-rata kita tempatkan di satap (sekolah satu atap) dan SMP yang memiliki kekurangan pada mata pelajaran yang di UN kan, harapan kami dengan program SM3T ini dapat mendongkrak naik lagi tingkat kelulusan di NTT".
Tantangan pendidikan di Sumba Timur tidaklah mudah untuk dijawab, Sindung Oki, salah satu guru SM3T yang diampu oleh Unesa mengatakan bahwa selain kekurangan guru, sarana parasana yang terbatas menjadi kendala pendidikan di daerah tersebut. "Di sini kelasanya memang terbatas, hanya ada dua kelas, maka tiap hari terjadi kelas rangkap. Kelas 1,2,3 digabung menjadi satu ruang kelas dan ruang kelas satunya lagi untuk 4,5 dan 6". Jelas Sindung yang kini mengabdi di SDN Laitaku Paberewai.
Walaupun begitu Sindung mengakui sudah memiliki solusinya, "Bagaimana cara mengajar 3 kelas, 3 mata pelajaran dengan 1 guru sudah kami peroleh ilmunya selama pelatihan di Surabaya," jelas Sindung sambil mengutarakan bahwa pada awalnya dirinya cukup sulit dalam membiasakan penjadwalan pada peserta didik, " pertama kali saya ke sini tidak ada yang namanya penjadwalan mata pelajaran, jadi semuanya hanya berdasarkan keinginan guru saja".
Irman, guru SM3T asal UNM mengamini yang dikatakan oleh Sindung. Menurutnya kondisi tersebut menjadikan dirinya dan Sindung selalu berdiskusi tentang mata pelajaran yang akan di sampaikan mereka besok. "Setiap malam kami berdiskusi mengenai indikator pengajaran di tiap kelasnya, karena di setiap ruang kelas terdapat jenjang yang berbeda," kata Irman.
Dengan segala keterbatasan baik guru maupun sarana prasarana, mereka menyadari bahwa para peserta didik memiliki modal yang besar. "Mereka sangat bersemangat untuk sekolah, antusiannya sangat luar biasa, tiap hari mereka harus berjalan berbukit-bukit untuk sampai sekolah dan belajar," ucap Irman.
Antusias yang serupa ditemui pula oleh Risky Ardhayani, guru SM3T asal UNESA. Risky yang mengajar matematika untuk SMPN 1 Pabarewei mengatakan bahwa tidak sedikit dari peserta didik yang meminta tambahan jam pelajaran hingga larut malam. "Mereka sangat bersemangat untuk mengikuti jam tambahan, terkadang hingga pukul 9 atau 10 malam, saya selalu khawatir ketika mereka pulang. Saya sering meminta mereka pulang lebih cepat, tetapi mereka masing ingin terus belajar," ujarnya.
Antusias dan semangat itulah yang membuat para guru SM3T ceria dalam melaksanakan pengabdiaanya, mereka pun merasa diterima oleh warga sekitar, "Saya selama ini jarang sekali potong ayam, kini hampir 5 kali dalam sebulan saya dikasih ayam oleh orang tua siswa," jelas Sindung sambil tersenyum. Irman pun merasakan hal yang sama, dirinya merasa menemukan pengalaman dan pandangan yang baru tentang dunia pendidikan, "Di sini saya melihat bahwa tugas guru amatlah mulia, dan di sini juga saya menemukan Indonesia. Kini saya menyadari bahwa untuk membenahi pendidikan tidak cukup dengan berteriak tetapi kita harus bertindak".
(Isi berita disadur dari laman Dikti: www.dikti.go.id)
Share It On: