Buku ini diberi kata pengantar Budi Darma, dosen Unesa yang juga sastrawan terkemuka. Budi Darma membuka tulisannya dengan mengenalkan kita pada seorang pemikir besar, yaitu Caesare Lambrosso. Tokoh ini lahir pada tanggal 6 November 1835 di kota Verona, kota tempat keluarga Romeo dan Juliet hidup. Caesare Lambrosso punya tesis bahwa seseorang yang dasarnya bajingan, dididik dengan baik pun, oleh rohaniawan yang baik pun, karena dasarnya bajingan maka akan tetap menjadi seorang bajingan. Sebaliknya, ada juga orang yang karena dasarnya baik, meski dikumpulkan dengan bajingan-bajingan tangguh pun, pada saatnya akan menjadi baik. Mereka menjadi jelek hanya sesaat karena keadaan-keadaan tertentu, semacam faktor eksternal yang tidak dapat dihindari. Budi Darma memberi contoh Oliver Twist dalam karya Charles Dickens dan dua orang tokoh pengusaha yang dulunya bengal tapi kemudian menjadi baik dan dermawan.
Tapi tentu saja pandangan hitam putih yang menganggap bahwa manusia itu bergantung pada nature nya seperti ini bisa ditentang dengan berbagai pandangan seperti tokoh Jean Valjean yang pada dasarnya baik tapi terpaksa mencuri untuk anaknya yang kelaparan, dihukum kerja keras, melarikan diri dari penjara, ditolong oleh seorang rohaniawan, tapi kemudian mencuri chandelier perak yang mahal dari biara tempatnya ditolong tersebut. Ini jenis tokoh yang non-hitam-putih, menurut Budi Darma.
Jika manusia itu hitam-putih lantas di mana peran pendidikan? Menurut Budi Darma, dalam kadarnya masing-masing pendidikan itu dibutuhkan oleh siapa pun, baik oleh orang dengan dasar bajingan maupun oleh orang dengan dasar baik hati. Tarik menarik antara ajar dan dasar (atau nurture dan nature ) sebagaimana yang diperjuangkan oleh Ki Hajar Dewantara menunjukkan bahwa pendidikan tidak mungkin dinafikan.
Kebijakan memasukkan pendidikan karakter ke dalam lembaga formal tidak lain merupakan reaksi terhadap gejala-gejala dekadensi moral, reaktif dan bukan epiphanif. Karena itu kebijakan pendidikan karakter lebih banyak diseret oleh situasi dan kondisi tertentu, dan karena itu pula, lebih banyak bersifat operasional, dan kurang bersandar pada filosofi pendidikan itu sendiri. Demikian kata Budi Darma dengan halus. Beliau mengutip Muchtar Buchori yang menyatakan bahwa kita memerlukan sesuatu yang lebih fundamental, bukannya sekedar undang-undang atau peraturan-peraturan belaka, tapi filosofi pendidikan itu sendiri. Semua kebijakan bersumber pada filosofi pendidikan, bukan karena semata-mata untuk menghadapi gejala dekadensi moral.
Buku ini bagus sebagai buku bacaan wajib bagi para guru agar mereka memahami apa itu pendidikan karakter dan bagaimana memasukkannya dalam pembelajaran sehari-hari mereka. Buku semacam ini perlu disebarluaskan dan dibahas secara terus menerus. Selamat membaca. (Bayu_Humas Unesa)
Share It On: