Nada bicaranya lemah lembut. Senyumnya nyaris tersungging tiap dia bicara. Sebagai tanda perilakunya ramah. Meski rambutnya sudah memutih simbol kesenioran, Budi Darma tidak bertingkah seolah-olah tahu segalanya saat berbincang dengan orang yang lebih muda.
Bahkan, setelah mendapat penghargaan Anugerah Sastra Mastera 2011 itu perilakunya tetap bersahaja. Di aula Hotel Antarabangsa Rizqun, Gadong, Brunei Darussalam, pria asal Rembang itu menerima penghargaan bergengsi tersebut.
Lelaki kelahiran 25 April 1937 itu mendapat penghargaan bersama dua orang lainnya dari Brunei Darussalam, yakni Shukri Zain alias Pehin Jawatan Luar Pekerma Raja Dato Seri Utama Doktor Ustaz Haji Awang Mohd. Zain bin Haji Serudin dan sastrawan Malaysia Sahnon Ahmad.
"Saya tidak tahu mengapa saya terpilih. Setahu saya, pengahargaan seperti ini yang ke-4 dan diberikan dua tahunan, " ujar pria yang lebih fokus mengajar di disiplin ilmu sastra Inggris tersebut saat ditemui di rumahnya Minggu lalu (25/9).
Dia menceritakan, sebuah surat dikirim oleh Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas), Agus Dharma. Di sana tertulis alasan Budi Darma terpilih sebagai peraih penghargaan Anugerah Sastra Mastera 2011. "Budi Darma merupakan tokoh sastra yang berprestasi, baik di Indonesia maupun Asia Tenggara. " Demikian bunyi salah satu kalimat di sana. Kemendiknas memang termasuk pengusul agar Budi mendapat penghargaan itu.
Dia lantas menunjukkan sebuah plakat kecil berwarna emas. Juga sebuah buku berwarna serupa. Dua benda terebut didapat dari panitia pelaksana acara. Dua benda itu menjelaskan tentang penghargaan yang dia peroleh dan dari mana asalnya. Dia juga menyebutkan nama Ajip Rosidi, Sutardji Calzoum Bachri, dan W.S. Rendra sebagai tiga orang yang pernah mendapatkan penghargaan tersebut.
Perasaan senang karena merasa dihargai tentu ada, namun Budi melihat pencapaian itu bukan dari sisi bangga atau tidak. Melainkan, bagaimana penghargaan tersebut bisa menjadi inspirasi untuk memacu generasi muda agar terus berkarya dan berprestasi, khususnya bagi pecinta sastra.
"Sampai sekarang saya tidak pernah berhenti membaca. Teori sastra dan filsafat yang digali dan dikemukakan orang-orang baru sangat berwarna dan cocok untuk menambah wawasan, " tegas ayah tiga anak itu.
Dia melanjutkan, untuk menjadi sastrawan atau penulis yang baik, dibutuhkan kegemaran membaca yang baik pula. Pemilihan buku bacaan pun menentukan bagus tidaknya selera seorang sastrawan.
"Sekarang banyak pemuda yang suka membaca facebook, twitter, dan merespon bacaan-bacaan yang ada di sana secara instan, " kata Budi sambil tangannya memperagakan gaya orang mengetik.
Dia tidak menyalahkan dan menganggapnya sah-sah saja, namun Budi beranggapan untuk menjadi sastrawan yang baik, tidak cukup hanya membaca bacaan ringan atau sekadar merespon sesuatu secara instan seperti itu. Calon sastrawan mesti mau membaca buku-buku berat yag butuh perenungan untuk memahaminya. (Direproduksi dari Jawa Pos oleh Putri_Humas Unesa)
Share It On: