Kiri ke kanan: narasumber Kholida Ulfi Mubaroka, S.Sos., M.Sosio., dan Vinda Maya Setianingrum, S.Sos., M.A., bersama host, Tegar Trianto, Duta AKS
Unesa.ac.id., SURABAYA—Fear of missing out (Fomo) merupakan perasaan cemas dan takut tertinggal sesuatu yang baru baik itu informasi peristiwa, tren, maupun pengalaman. Perasaan ini umum dirasakan banyak orang, terutama generasi muda yang akrab dengan media sosial di mana semua informasi dan perkembangan mudah diakses.
Terkait fomo, dosen agama Islam UNESA, Kholida Ulfi Mubaroka, S.Sos., M.Sosio, dalam program Ngabuburit Bareng Genzi oleh Direktorat Pencegahan dan Penanggulangan Isu Strategis (PPIS) pada Kamis, 4 April 2024 menjelaskan bahwa sindrom fomo cenderung ke arah yang tidak menentramkan hati.
Selain itu berdampak pada psikis dan kecemasan seseorang, karena itulah dalam agama Islam segala sesuatu yang berlebihan merenggut waktu dan situasi positif sudah harus dihindari.
"Kalau medsos kita gunakan untuk hal yang positif, membangun jaringan, memperbanyak ilmu dan wawasan itu dianjurkan. Namun, ketika ini sudah membuat kita fokus mengajar pengakuan, cemas jika tidak diakui dan sebagainya, itu sudah tidak ada manfaatnya," ucapnya.
Ulfi menegaskan, agama tidak melarang umatnya menggunakan teknologi atau medsos, tetapi lebih menuntut bagaimana pemanfaatan teknologi seperti medsos bisa berdampak positif bagi penggunannya. Dasar dari agama itu adalah membawa rahmat bagi manusia dengan kebaikan-kebaikan yang dianjurkan.
Fomo kadang dipengaruhi lingkungan pertemanan, karena itu bagi anak-anak muda yang ada dalam circle pertemanan yang fomo bisa perlahan-lahan diingatkan dampaknya. Usahakan mengingat dengan baik tanpa menghina, tanpa mencela apalagi sampai memusuhi atau menyakiti.
Lalu bagaimana dengan perasaan tertinggal dalam hal kebaikan seperti fenomena ramainya postingan lailatulqadar misalnya? Bagi Ulfi itu justru merupakan hal yang bagus dan wujud dari pemanfaatan media sosial untuk menyebarkan semangat kebaikan dan ibadah.
Berlomba-lomba dalam kebaikan itu dianjurkan, apalagi dalam ibadah. Bagian yang dilarang itu berlomba-lomba untuk flexing atau untuk mendapatkan perhatian dan pengakuan orang lain. Sebaik-baiknya, semua perbuatan diniatkan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
FOMO ke JOMO
Dosen ilmu komunikasi, Vinda Maya Setianingrum, S.Sos., M.A., menuturkan, ada beberapa yang perlu diperhatikan, agar tidak ditenggelamkan perasaan fomo. Pertama, tidak candu media sosial. Bagaimana caranya? tentu bisa dengan menerapkan 'puasa' atau membatasi penggunaan media sosial.
Kedua, berdasarkan hasil penelitian sejumlah pakar bahwa dampak negatif dari fomo yaitu mudah lelah, cemas hingga depresi. Ketika sudah merasakan gejala seperti itu, sebaiknya mencari solusi dengan membatasi interaksi, mengubah fokus, dan sebagainya.
Ketiga mencari aktivitas atau kesenangan, dengan begitu fokus ke medsos yang menimbulkan fomo dengan dampak negatifnya itu bisa teralihkan ke hal-hal yang positif. Agar ini berkelanjutan, tentu perlu diperkuat dengan mencari lingkungan pertemanan yang mendukung.
Keempat, mengganti orientasi fomo menjadi joy of missing out (jomo). Jomo merupakan perasaan enjoy dan tidak takut ketinggalan informasi yang tidak perlu baginya. Misalnya, ketika teman-temannya berlomba-lomba membeli pakaian branded yang viral, ia tidak pusing dan justru membeli pakaian yang nyaman baginya tanpa melihat itu branded, viral atau tidak.
Kelima, selalu bersyukur dengan apa yang dimiliki untuk menghindari perasaan kurang atau tertinggal dari yang lain. Perasaan menerima ini perlu ditanamkan dalam diri. Menerima di sini yaitu mendamaikan mental agar fokus ikhtiar mencapai apa yang diharapkan. []
***
Reporter: Nelly (FIP)
Editor: @zam* (FIP)
Foto: Dokumentasi Tim Humas
Share It On: