Setelah dua jam lima belas menit penerbangan dari Selangor, kami tiba di Bandara Tawau. Saya melihat jam tangan, waktu menunjukkan pukul 16.30, lalu kami langsung naik bus menuju Hotel Marcopolo. Sepanjang perjalanan itu, kami mendengarkan lagu-lagu Indonesia di dalam bus yang kami tumpangi. Rasanya seperti di negeri sendiri. Memang begitulah kenyataan di Malaysia. Banyak produk (kebudayaan, lagu-lagu daerah, makanan, musik, pakaian) asli Indonesia yang dibawa orang-orang Indonesia yang merantau ke Malaysia. Dugaan lain adalah Malaysia sengaja menggunakan produk-produk Indonesia karena menyukai produk Indonesia. Tidak heran jika pada akhirnya Malaysia mengklaim milik Indonesia, milik mereka seperti kasus lagu Rasa Sayange yang dijadikan lagu pengiring iklan pariwisata Malaysia.
Akhirnya saya dapat menyimpulkan mengapa banyak produk budaya Indonesia di Malaysia. Jawabannya karena di Malaysia itu banyak orang Indonesia terutama orang Sulawesi. Jumlah Warga Negara Indonesia (WNI) di Sabah belum bisa diketahui secara pasti karena baru sedikit yang mendaftar. Menurut data dari Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Kota Kinabalu (ibukota Sabah) sampai Juli 2010, terdapat 243.090 orang WNI. Adapun jumlah anak-anak WNI yang tercatat adalah 43.000 orang dan baru sebagian kecil yang sudah mendapat layanan pendidikan. Menurut perhitungan, total keseluruhan WNI yang ada di Malaysia sekitar dua juta orang. Jumlah itu setara dengan jumlah penduduk propinsi Sulawesi Utara atau setara dengan seperenam jumlah penduduk Pulau Sulawesi. Karena itu, tidak heran jika banyak budaya dan kesenian Indonesia yang dibawa ke Malaysia oleh orang-orang Indonesia sehingga mungkin saja lagu Rasa Sayange itu sering dinyayikan oleh orang Maluku dan didengar oleh warga Malaysia dan dijadikan lagu pengiring iklan pariwisatanya.
Perjalanan dari Bandara Tawau menuju Hotel Marcopolo memakan waktu sekitar dua jam. Setibanya di hotel, waktu sudah menunjukan pukul 18.30 kami langsung menuju receptionist (penerima tamu) untuk mengambil kunci kamar kami masing-masing. Tiap kamar diisi dua orang pendidik, laki-laki dengan laki-laki dan perempuan dengan perempuan. Ketika saya menanyakan kepada receptionist tentang kamar saya, mereka menjawab bahwa kunci kamar sudah dipegang oleh teman sekamar saya yang bernama Rahmat Saleh Hasibuan. Dari namanya jelas kita bisa menebak asalnya dari Medan. Saya memanggilnya Bang Rahmat. Saya dan Bang Rahmat saling bercerita ketika kuliah dan perjuangan-perjuangan di dalamnya. Bang Rahmat juga seorang aktivis handal. Banyak cerita-ceritanya yang menggugah hati saya. Terlebih ketika ia bercerita jika istrinya sedang hamil enam bulan ketika ditinggal ke Malaysia. Sungguh perjuangan lahir batin baginya.
Setelah bercengkrama cukup lama, saya dan rekan-rekan guru yang lain turun ke lantai satu untuk makan malam. Setelah itu saya ke kamar dan tidur. Esok hari setelah sholat subuh dan mandi, kami pergi ke ruang makan di lantai satu hotel. Mungkin karena terlalu pagi kami ke ruang makan, makanan yang akan dihidangkan belum siap semua. Kami melihat seorang ibu sedang sibuk di dapur di sebelah ruang makan. Ternyata seorang ibu itu adalah orang Jawa Tengah. Jadi dia sebenarnya paham bahasa Jawa. Selain itu, receptionist yang berjaga, salah satunya juga berasal dari Jawa.
Sambil makan, kami diberi waktu senggang untuk berkenalan dengan bapak bapak pendidik senior dari golongan Pegawau Negeri Sipil (PNS) angkatan 2009 karena pada saat yang sama, pendidik senior yang di Sabah itu juga datang untuk mengikuti bimbingan teknis (bimtek) untuk pendidikan anak-anak Indonesia di Sabah, Malaysia. Kesempatan itu kami gunakan untuk bertanya tentang keadaan estate (baca estet: kebun sawit) kami masing-masing. Saya mendapat bagian estate Hwa Li. Yang menjadi pendidik estate Hwa Li adalah Pak Musnedi. Beliau berasal dari Padang namun menjadi PNS yang ditugaskan di Surabaya. Ketika saya bertanya kedaaan di estate saya beliau menjawab sudah cukup baik sekolahnya bahkan Hwa Li banyak prestasi dalam bidang sukan (olahraga), di antaranya Juara I Sepakbola se-Kinabatangan, Juara I Bulu Tangkis beregu se-Kinabatangan, Juara II Sepak Takraw se-Kinabatangan. Pak Musnedi pun terpilih menjadi guru teladan tingkat Sabah. Beliau diundang ke istana negara Republik Indonesia (RI) pada peringatan 17 Agutus lalu dan bertemu dengan presiden serta diwawancarai di stasiun TV.
Pada saat yang sama itu, sebagian teman saya pagi itu pergi berbelanja kebutuhan yang sekiranya diperlukan di estate nantinya seperti kartu perdana handphone, gembok pintu, dan lain-lain. Saya juga pergi membeli kartu perdana. Ada macam-macam kartu perdana di sini. Ada DiGi, Celcom, Maxis, dan lain-lain. Digi itu semacam Indosat kalau di Indoneisa, Celcom itu semacam Xl, sedangkan Maxis semacan Telkomsel. Saya sendiri membeli dua kartu perdana, DiGi dan Celcom. Di estate saya yang paling kuat sinyalnya adalah Celcom. Kalau sinyal DiGi hanya di tempat-tempat tertentu yang tersambung sinyal. Waktu itu hari Jumat dan waktu menunjukan saatnya sholat jumat. Kami yang laki-laki bergegas menuju masjid yang berada di samping hotel untuk menunaikan sholat jumat.
Waktu terus berjalan, pada malam hari kami menjalani bimtek bersama Direktur Pelaksana Humana, yaitu Mr. Torben Venning, perwakilan dari Konsulat RI di Kota Kinabalu dan Tawau serta panitia dari Jakarta. Mr. Torben Venning ialah seorang muallaf berkewarganegaraan Denmark. Ia memeluk Islam ketika akan menikahi wanita muslim asal Filipina yang sekarang menjadi istrinya. Pada bimtek tersebut istrinya juga ikut hadir membantu Mr. Torben Venning. Wanita berjibab itu juga ikut andil menjelaskan hal-hal yang sekiranya penting dalam menjalankan tugas sebagai guru di Sabah di bawah naungan Humana. Waktu menunjukkan pukul 23.00, acara bimtek pun diakhiri.
Keesokan harinya, Sabtu kami berangkat menuju Tabin Lodge di kota Lahat Datu. Tabin Lodge ialah sebuah penginapan/persinggahan bagi pelancong atau orang-orang yang sengaja bepergian dan butuh bermalam. Perjalanan yang ditempuh dari Tawau menuju Lahat Datu sekitar dua jam. Kota Lahat Datu merupakan pusat bandar (pusat kota). Sesampainya di Tabin Lodge, kami langsung naik menuju kamar masing-masing sesuai dengan nomor kamar. Saya dan rekan-rekan guru yang laki-laki mendapat jatah kamar di lantai empat dan di Tabin ini tidak ada escalator apalagi lift. Sementara itu, rekan-rekan guru yang wanita berada di lantai dua. Kami bahu-membahu mengangkat dan menaikkan koper-koper ke kamar. Mungkin berat satu koper itu ada yang sama dengan berat seekor kambing kurban.
Saya melihat jam tangan yang menunjukkan pukul 12.00. Kami menuju kamar masing-masing untuk beristirahat. Di Tabin Logde, kami menunggu giliran diantar ke estate masing-masing sesuai dengan pembagian estate yang dilakukan oleh panitia di Jakarta. Malam harinya, kami berkumpul untuk membahas hal-hal penting dan kebutuhan-kebutuhan kami di estate. Pada malam itu juga dibentuklah koordinator tiap-tiap distrik (kecamatan). Saya dipilih menjadi koordinator distrik Kinabatangan yang di dalamnya terdapat 15 estate. Distrik ini termasuk distrik yang paling banyak estate-nya di antara distrik-distrik yang lain. Menjadi koordinator merupakan tugas yang cukup berat. Betapa tidak, seorang koordinator harus bisa menjadi problemsolver (pemacah masalah) atau setidaknya menjadi tempat curhat rekan-rekan guru tentang keadaan estate masing-masing jika muncul suatu permasalahan yang berkaitan dengan tugas seorang pendidik di estate tersebut dan tentunya juga menjadi informan bagi rekan-rekan guru yang lain tentang berbagai agenda sekolah Humana. Jarak antar estate yang jauh ditambah medan dan transportasi yang sulit karena memang ditengah kebun sawit makin menambah beratnya tantangan ini, tapi bagaimanapun ini adalah amanah yang harus dijalankan.
Kemudian siang hari itu, kami berbelanja lagi barang-barang yang sekiranya dibutuhkan di estate. Saya mendapatkan pengalaman sangat unik ketika saya berbelanja rice cooker di salah satu supermarket di dekat Tabin. Ketika melihat-lihat rice cooker yang akan dibeli, saya bertanya kepada salah seorang karyawan supermarket. Saya berbincang-bincang. Cukup mudah bagi orang sana untuk mengenali bahwa saya orang baru dari Indonesia karena di tas yang saya bawa terikat pita warna merah-putih. Ketika ditanya perihal keberadaan saya di Sabah saya menjawab bahwa saya seorang cikgu (guru) dan ia langsung mengangguk-anggukkan kepala. Ketika menuju kasir untuk membayar berbagai belanjaan, karyawan tadi meminta kepada kasir agar diberi potongan 10% untuk rice cooker yang saya beli.
Waktu terus berjalan, pendidikan anak-anak Indonesia di Sabah pun dimulai. Sebagian rekan-rekan guru ada yang diantar ke estate pada Minggu sedangkan saya diantar ke estate Hwa li pada Senin. Tibalah waktu saya diantar ke estate Hwa li. Ketika mobil yang mengantar saya datang, saya langsung bergegas membawa barang bawaan dan berpamitan dengan rekan-rekan guru yang lain untuk berangkat menuju estate. Gerimis mengiringi perjalanannya saya menuju estate. Awalnya saya merasa nyaman di sepanjang perjalanan namun ketika mobil yang saya naiki belok ke kiri masuk ke area kebun sawit, perasaan saya mulai berubah. Seperti ini ternyata di estate. Sepanjang perjalanan menuju estate di kanan kiri jalan hanya terhampar luas perkebunan sawit. Sejauh mata memandang yang terlihat hanyalah pokok (pohon) sawit. Jalan yang saya lalui berkelok-kelok naik turun bukit. Jalan itu dibuat dari pasir dan batu yang tampak tidak rata, banyak geronjalan di sana sini sehingga ketika mobil yang saya naiki melaju sedikit kencang, kaca-kaca mobil rasanya akan runtuh.
Lebih dari dua jam perjalanan yang saya tempuh dari Tabin lodge sampai ke estate Hwa li. Kemudian saya diantar ke rumah salah seorang karyawan perkebunan, namanya Mr. Saharuddin. Rumahnya terletak di atas bukit dan di sebelah kanan dan kiri rumahnya juga terdapat rumah-rumah karyawan perkebunan sawit yang lain sedangkan rumah-rumah pekerja perkebunan berada di bawah bukit. Sekolah yang menjadi tempat saya mengajar juga ada di bawah bukit. Jarak rumah tempat tinggal saya dan sekolah sekitar satu kilometer. Di tempat inilah saya akan memulai sebuah perjuangaan untuk mendidik anak-anak Indonesia. Tunggu bagaimana serunya cerita perjuangan kami di tengah kebun sawit. (Suwandi Al Abrisam-Koordinator Distrik Kinabatangan_Kontributor Humas Unesa)
Share It On: