Pengangguran di Indonesia semakin meningkat tiap tahunnya. Data Biro Pusat Statistik (BPS) menyebutkan jumlah sarjana (S-1) pada Februari 2007 sebanyak 409.900 orang. Setahun kemudian jumlah pengangguran terdidik bertambah menjadi 626.200 orang. Jika setiap tahun jumlah kenaikan rata-rata 216.300, pada Februari 2012 terdapat lebih dari 1 juta pengangguran terdidik. Dalam rentang waktu 2007-2010 tercatat peningkatan sebanyak 519.900 orang atau naik sekitar 57%. Pada perkembangan berikutnya, BPS menilai jumlah persentase pengangguran terdidik (sarjana) yang menganggur sedikit berkurang, Februari 2011 turun menjadi 9,95%, dibanding Februari 2010 sebesar 14,24%. Turunnya tingkat pengangguran lulusan perguruan tinggi itu terkait penerimaan PNS.
Fenomena itu terjadi karena tidak terlepas dari konstribusi perguruan tinggi yang umumnya lebih mempersiapkan lulusannya menjadi pencari kerja (job seeker) bukan pencipta lapangan kerja (job creator). Padahal Indonesia butuh wirausaha minimal 2% dari jumlah penduduknya untuk menggerakkan pertumbuhan ekonomi bangsa yang saat ini jumlah wirausahanya masih 0,18%. Menurut Dirjen Dikti dengan gencarnya pendidikan kewirausahaan, baik yang diintegrasikan dalam kurikulum maupun dalam program mahasiswa wirausaha, pada 2014 ditargetkan sebanyak 20 persen lulusan perguruan tinggi berhasil menjadi usahawan. Fenomena itulah yang menginspirasi munculnya gagasan redesain kurikulum perguruan tinggi bernuansa kewirausahaan melalui model Entrepreneurship Hidden Curriculum (EHC). Gagasan konseptual itu dipresentasikan Bayu Dwi Nurwicaksono, alumnus Unesa pada Seminar Nasional Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI) pada sesi paralel di Ruang Sidang Senat Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) pada Minggu (22/01).
Dalam presentasinya alumnus Unesa yang juga mahasiswa Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) itu memaparkan bahwa penerapan EHC di perguruan tinggi Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) semacam UNY, Unesa, UPI, Unnes, UNJ, UM, dan kampus eks-IKIP lainnya itu dapat melahirkan sosok teacherpreneur. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa selama ini mata kuliah kewirausahaan yang diberikan dalam 2 sks pada akhir masa studi calon sarjana tidak efektif membekali mahasiswa berjiwa dan berpraktik wirausaha. Menurutnya lebih efektif, jiwa dan praktik wirausaha disisipkan dalam kurikulum mata kuliah yang memungkinkan diberi nuansa wirausaha. Selain dapat lebih menstimulus mahasiswa agar kreatif memunculkan ide berwirausaha yang sesuai dengan basis keilmuannya, dengan EHC ini jiwa dan praktik wirausaha bisa lebih terasah dan lebih melembaga dalam diri mahasiswa karena setiap saat stimulus wirausaha diberikan kepada mahasiswa.Pada sesi tanya jawab, peserta seminar tampak antusias mengomentari dan mengapresiasi gagasan EHC ini. "Saya mengapresiasi istilah yang dimunculkan dalam gagasan ini, yaitu EHC. Bagi saya istilah itu memiliki esensi yang tepat sesuai dengan yang saya lakukan dalam proses perkuliahan yang saya ampu di UNY selama ini. Semoga komunikasi akademik tentang gagasan model kurikulum ini dapat terus dijalin," ucap Ari, Dosen Pendidikan Bahasa Indonesia UNY.
Selain membicarakan tentang redesain kurikulum, seminar nasional yang dihadiri para akademisi bidang pendidikan (rektor universitas LPTK, guru besar, dosen, guru, dan pejabat pemerintahan di lingkungan Kemdikbud) seluruh Indonesia ini juga membahas tentang redesain sistem nasional pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan, redesain sistem pendidikan dan manajemen pendidik dan tenaga kependidikan, redesain sistem pendanaan pendidikan, redesain sarana dan prasarana pendidikan, redesain evaluasi sistem pendidikan. Humas UnesaShare It On: