www.unesa.ac.id
Unesa.ac.id, SURABAYA–Pendidikan merupakan hak setiap anak, bahkan bagi mereka penyandang disabilitas. Namun sudahkan pendidikan di Indonesia ramah disabilitas? Menurut Muhammad Nurul Ashar, dosen prodi S-1 Pendidikan Luar Biasa (PLB) Universitas Negeri Surabaya (UNESA) mengungkapkan bahwa saat ini pendidikan inklusif di Indonesia mulai memperlihatkan progres yang bagus.
Hal ini didukung dengan adanya komisi nasional disabilitas di tingkat nasional plus dukungan dari pemerintah pusat-daerah yang semakin membaik. Selain itu, pemahaman terhadap kondisi disabilitas pun semakin meningkat di masyarakat, regulasi tentang disabilitas juga semakin bagus, pun sekolah-sekolah semakin banyak yang membuka layanan disabilitas.
Kendati demikian, menurut lulusan The University of Sydney, Australia itu, pendidikan inklusif di Indonesia masih memiliki catatan. Sekarang ini, sudah ada sekitar 40 ribu lebih sekolah inklusi tingkat dasar dan menengah dari sekitar hampir 400 ribu lebih jumlah sekolah dasar dan menengah baik di bawah Kemendikbudristek maupun Kemenag.
Di pendidikan tinggi, ada sekitar 184 kampus yang memberikan layanan mahasiswa disabilitas dari 3 ribu lebih perguruan tinggi di Indonesia. Artinya, baru sekian persen atau sekitar 2,5 persen lembaga pendidikan saja yang memberikan layanan disabilitas. Tugas ke depan, lanjutnya, adalah memperluas akses pendidikan yang ramah bagi penyandang disabilitas dan di sisi lain meningkatkan kualitas layanan pendidikan bagi penyandang disabilitas.
Menurutnya, pendidikan yang ramah disabilitas urgen diterapkan di lembaga pendidikan dan semua daerah. Alasannya, jumlah disabilitas di Indonesia terbilang tinggi. Kemensos mencatat dan berdasarkan BPS 2018, jumlah penyandang disabilitas di Indonesia mencapai 21,8 juta jiwa. Angka ini diperkirakan mencapai sekitar 22 juta jiwa sekarang.
Sementara, BPS melaporkan, pada 2021, jumlah penyandang disabilitas usia sekolah atau (5-19 tahun) berkisar 2.197.833 jiwa. Sementara, yang terdata di Pusat Data dan Informasi Kemendikbudristek ada sekitar 269.398 anak yang mengenyang pendidikan di sekolah luar biasa (SLB) dan sekolah inklusi. Artinya, baru sekitar 12 sekian persen anak yang dilayani kebutuhan pendidikannya.
Pria yang kerap menjadi moderator pertemuan internasional ini melanjutkan, untuk mewujudkan pendidikan yang ramah disabilitas memang perlu kesadaran semua pihak, pemerintah pusat hingga daerah lewat regulasinya, kepala sekolah hingga guru juga lewat aturan, inovasi layanan hingga cara belajar dan lingkungan yang ramah di tingkat sekolah. Bahkan, perlu dukungan orang tua dan seluruh pihak terkait.
Selain itu, pendidikan inklusi memang amanat UU No 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas yang memuat 22 hak penyandang disabilitas yang harus dipenuhi. Sekolah tentu menjadi perwujudan pemerolehan hak pendidikan, hak habilitasi dan rehabilitasi, dan hak berekspresi.
Apa sih sebenarnya pendidikan inklusif? yaitu sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik penyandang disabilitas yang memiliki potensi kecerdasan atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya.
Pendidikan inklusif ini bisa diterapkan dalam dua skema yaitu ada skema khusus lewat sekolah luar biasa atau SLB bisa juga lewat sekolah umum yang mengakomodasi kebutuhan atau menyiapkan layanan untuk peserta didik yang disabilitas.
"Penyandang disabilitas perlu sekolah untuk mengembangkan bakat khususnya. Selain itu, siswa disabilitas akan belajar banyak dari teman sebayanya mengenai kemampuan berkomunikasi, berinteraksi sosial dan pengembangan karakternya,” jelasnya.
Di satuan pendidikan umum, kadang muncul persoalan siswa disabilitas mendapat perlakuan yang kurang menyenangkan dari teman-temannya. Nah, baginya ini kembali lagi ke persoalan kesadaran yang perlu ditanamkan di lingkungan sekolah.
Untuk menumbuhkan kesadaran ini tentu bisa dengan sosialisasi dan edukasi lewat berbagai kegiatan. Bisa proyek bersama, perlombaan dan latihan-latihan bahasa isyarat di sekolah. Sehingga ada rasa kebersamaan, saling memahami kebutuhan masing-masing siswa. Ini yang awal-awal dulu diterapkan di Universitas Negeri Surabaya (UNESA) sehingga sekarang menjadi percontohan layanan disabilitas di Indonesia.
Bahkan, Kampus Para Juara ini diapresiasi pakar pendidikan inklusi dari UK akan kualitas layanan yang diberikan kepada mahasiswa. Sudah tidak terhitung inovasi yang dihadirkan UNESA untuk anak-anak disabilitas. Terbaru, UNESA berkolaborasi dengan mitra membagikan 300 kursi roda untuk anak disabilitas di Jawa Timur.
"Mewujudkan pendidikan yang ramah adalah tugas kita bersama, termasuk UNESA akan terus menumbuhkan kesadaran untuk lingkungan pendidikan dan aksesibilitas disabilitas di semua sektor," tandasnya.
Peringatan Hari Disabilitas Internasional yang jatuh pada 3 Desember 2022, bagi Ashar harus menjadi momentum bersama untuk merefleksikan kembali terhadap apa yang sudah dilakukan atau yang diberikan kepada penyandang disabilitas dan sekaligus membangun komitmen bersama untuk memperbaiki layanan disabilitas di semua aspek.
"Seluruh anak termasuk yang disabilitas punya hak yang sama untuk mendapat pendidikan yang layak dan ramah, punya hak untuk membangun mimpi dan meraih masa depan yang mereka harapkan dan yang menjadi harapan kita bersama," tutupnya. [HUMAS UNESA]
Penulis: Hasna
Editor: @zam Alasiah*
Gambar oleh Gerd Altmann dari Pixabay
Share It On: