Pakar pendidikan sekaligus Wakil Rektor IV UNESA, Martadi memberikan pandangannya seputar kurikulum, sistem pembelajaran, dan rendahnya pengetahuan umum para pelajar.
Unesa.ac.id. SURABAYA—Pakar pendidikan Universitas Negeri Surabaya (UNESA) menyoroti kondisi di mana sejumlah remaja usia sekolah menengah pertama yang tidak bisa menyebutkan kepanjangan dari nama lembaga negara dalam eksperimen sosial yang dilakukan salah satu kreator konten.
Pakar pendidikan UNESA, Martadi mengatakan bahwa kondisi anak-anak yang tidak bisa menjawab pertanyaan sederhana seperti kepanjangan dari MPR, ibu kota Jawa Timur dan Jawa Barat seperti dalam video viral menimbulkan sejumlah pertanyaan.
Apakah pengetahuan umum tidak diajarkan di sekolah? Atau sudah diajarkan, tetapi tidak tertransfer dengan baik kepada para siswa? Atau jangan-jangan para siswa berpikir berbeda, merasa tidak perlu menghafal, karena bisa langsung mencarinya di internet, atau bertanya di ChatGPT misalnya saat diperlukan.
Terlepas dari berbagai faktor tersebut, rendahnya pengetahuan umum pelajar perlu menjadi bahan refleksi bahwa ada yang perlu dibenahi dan dicek kembali dalam sistem pendidikan, seperti kurikulum, khususnya mengapa pengetahuan umum yang seharusnya menjadi dasar pemahaman tidak lagi dikuasai dengan baik oleh para pelajar.
"Itu barangkali yang harus kita lakukan refleksi tentang sistem pendidikan kita, khususnya terkait kurikulum dan cara pembelajaran kita," ucapnya saat memberikan statement dalam program streaming Kompas TV, pada Minggu, 6 Oktober 2024.
Kaitannya dengan kurikulum, Wakil Rektor IV Bidang Perencanaan, Pengembangan, Kerja Sama, dan Teknologi Informasi dan Komunikasi UNESA itu menegaskan bahwa kurikulum merdeka secara konsep bagus. Namun kurikulum yang bagus tidak selalu hasilnya bagus, jika tidak didukung dengan komitmen, sarana-prasarana, mindset dan sebagainya.
"Yang terjadi hari ini, kurikulum secara konsep baik, karena di lapangan tidak dikawal dengan baik, lalu anak-anak kehilangan arah belajarnya. Sementara di sisi lain para guru kesulitan karena tidak ada rujukan yang jelas," bebernya.
Selain itu, para siswa tidak lagi ada intensif belajar secara maksimal, karena ujian nasional sudah tidak ada. Menurutnya, hari ini terjadi surplus nilai, karena setiap sekolah membuat nilai sesuai standar sendiri. Lalu, nilai yang diberikan sangat tinggi-tinggi agar siswanya bisa lolos seleksi jenjang berikutnya.
Hal ini menjadi persoalan, karena sekolah mulai tidak autentik, dan tidak jujur lagi untuk menilai kemampuan anak didiknya. Sekolah cenderung berpikir pragmatis, hanya agar anak didiknya bisa naik ke jenjang berikutnya, tetapi dengan cara yang tidak edukatif.
"Ini menurut saya perlu diatasi, kita harus berani membuat standar yang baru, yang memotivasi anak didik untuk belajar," ucapnya.
Dia menegaskan, para siswa harus harus mengenal dirinya sendiri dengan mengenal bangsanya sendiri. Ketika anak-anak ini langsung dikenalkan dunia, tanpa pondasi pengenalan pada bangsanya sendiri, maka anak-anak ini akan menjadi generasi floating, lebih mengenal atau fasih bercerita tentang negara lain, tetapi gagap ketika ditanya tentang negara sendiri.
"Ini menjadi persoalan serius bagi identitas dan keberlangsungan kita. Oleh sebab itu, menjadi penting hari ini dikuatkan kembali kepada anak-anak kita tentang jati diri ke-Indonesiaan kita. Saya menyebutkan Indonesian quotient," bebernya.
Indonesian quotient merupakan kecerdasan atau kesadaran akan nilai-nilai ke-Indonesiaan yang bersumber dari akan budaya ke-Indonesiaan, agar para siswa atau anak-anak tumbuh menjadi generasi Indonesia yang siap masuk ke lingkup dunia, bukan menjadi generasi dunia yang lupa dengan ke-Indonesiaan.[HUMAS UNESA]
Share It On: