www.unesa.ac.id
Unesa.ac.id, Surabaya - Pusat Studi Seni Budaya (PSiSB) LPPM Unesa menghelat Webinar Nasional bertajuk “Karya Seni dan Penelitian Karya Seni dalam Masa Covid-19” pada Rabu (19/08/2020) secara virtual menggunakan aplikasi Zoom Meetings. Kegiatan ini menghadirkan narasumber antara lain Prof. Dr. H. Haris Supratno dari Unesa Surabaya, Prof. Dr. I Wayan Dibia, MA dari ISI Denpasar, Dr. G.R. Lono Lastoro Simatupang, MA dari UGM Yogyakarta. Forum virtual ini berlangsung pukul 09.00 hingga 13.00 WIB. Webinar ini diikuti oleh 371 pendaftar dan disiarkan live di youtube channel Official Unesa.
Kegiatan diawali dengan laporan ketua pelaksana yang disampaikan oleh Kepala Pusat Studi Seni Budaya Unesa, Dr. I Nengah Mariasa. “Unesa memiliki pusat seni budaya yang bernaung di LPPM Unesa, yang bertujuan untuk mengkaji, meneliti, dan menyajikan kesenian dalam upaya melestarikan dan mengembangkan seni di Jawa Timur,” jelas Nengah.Webinar ini juga dihadiri oleh Prof. Dr. Bambang Yulianto, M.Pd selaku Wakil Rektor Bidang Akademik Unesa. Selain itu dihadiri oleh dosen, mahasiswa, dan seniman yang tetap mencintai dan tetap melestarikan seni Indonesia.
“Unesa sebagai perguruan tinggi negeri yang memiliki jurusan dan lembaga studi seni memiliki tanggungjawab untuk terus menjaga, melestarikan dan mengembangkan seni, terutama seni budaya nusantara,”papar Prof. Bambang. Dr. Setyo Yanuartuti, M.Si selaku moderator menjelaskan bahwa penelitian penciptaan dan pengkajian seni dimasukkan ke dalam skim penelitian Ristekdikti pada tahun 2017 lalu. Namun dari tahun 2019 hingga saat ini, penelitian ini tidak lagi muncul menjadi skim tersendiri, melainkan masuk ke dalam skim tertentu misalnya penelitian dasar, penelitian terapan, dan penelitian pengembangan.
Prof. Dr. I Wayan Dibia, S.ST., M.A menjelaskan bahwa karya seni merupakan hasil olah kreativitas sekaligus hasil penelitian. Untuk menghasilkan karya cipta seni, kreator seni membutuhkan daya kreativitas, kecerdasan emosional, kepekaan estetik, kecerdaan otak dan intelektual dengan mengadakan penelitian.Selama ini dalam perguruan tinggi, karya seni cenderung dilihat hanya sebagai hasil kreativitas dan olah rasa yang minus akan penelitian. Penciptaan seni tradisional cenderung dilakukan secara spontan.
“Hingga kini karya cipta seni belum mendapat penghargaan sebagaimana mestinya di perguruan tinggi, bahkan dianggap lebih rendah dari hasil-hasil penelitian murni. Di negeri yang kaya akan warisan seni, hasil kreativitas seni justru belum mendapat penghargaan yang pantas di dunia akademik. Kondisi seperti ini di dalihkan sebagai kesalahan sistem di perguruan tinggi walaupun besar kemungkinanya bahwa kondisi seperti ini merupakan akibat proses penciptaan seni yang belum dilengkapi penelitian.” jelas guru besar emeritus, Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar.
Ketua Sekolah Tinggi Seni Indonesia tahun 1997-2001 ini berpendapat bahwa kreativitas adalah jantungnya seni. Beliau menyampaikan bahwa tanpa kreativitas tidak akan ada karya seni, melainkan hanya pengulangan dari karya seni yang sudah ada sebelumnya.Menurutnya, kehidupan seni sangat ditentukan oleh iklim kreativitas yang sehat. Karena, lemahnya iklim kreativitas akan memicu kelumpuhan kehidupan seni. Di lingkungan budaya yang memiliki iklim yang sehat, akan terjadi kehidupan seni yang semarak.Lulusan gelar Ph.D di bidang Seni Pertunjukkan Asia Tenggara, di University of California, Los Angeles (UCLA) Amerika Serikat ini menyampaikan analisisnya bahwa akhir-akhir ini banyak terjadi kreativitas seni yang bebas tanpa batas sehingga menimbulkan ancaman terhadap kehidupan kesenian itu sendiri.
“Kreativitas pada dasarnya adalah suatu upaya untuk melahirkan sesuatu yang baru (novelty) dan belum pernah ada sebelumnya. Untuk melahirkan sesuatu yang baru ini, kreator seni menggunakan cara-cara yang tidak biasa, nyeleneh bahkan sedikit aneh. Akibatnya, hasil kreativitas ini justru menimbulkan ancaman baru terhadap keberlanjutan kehidupan kesenian di suatu wilayah budaya.” papar seniman kesenian tradisional Bali. Penerima beasiswa The Asian Cultural Council ini menyampaikan bahwa karya seni sebagai hasil kreativitas merupakan karya seni yang menawarkan kebaruan konsep, wujud, dan penampilan. Karya seni ciptaan baru harus bebas dari duplikasi terhadap karya-karya yang sudah ada. “Duplikasi terhadap karya-karya sebelumnya tidak akan terjadi apabila para kreator seni mengerahkan kemampuan kreativitas dan integritas dirinya. Karena setiap orang mempunyai rasa estetik yang berbeda, punya cara bergerak yang berbeda (dalam seni tari), punya kepekaan nada yang berbeda (dalam seni musik),” papar Wayan. Lebih lanjut, Wayan Dibia menyampaikan bahwa karya ciptaan baru diharapkan mampu menunjukkan identitas karya, identitas budaya, dan identitas pribadi (kreatornya) yang kuat. Karya seni ciptaan baru, terutama kontemporer, tidak harus lepas dari kaitannya dengan budaya tradisi.
Menurut Wayan, untuk menghasilkan sebuah karya seni ciptaan baru, seorang kreator seni pada umumnya melakukan proses membaca sumber-sumber literatur, observasi atau mengamati terhadap banyak hal yang terkait dengan karya seni yang akan diciptaaan, melakukan komparasi terhadap karya-karya yang sudah ada, eksperimen untuk menemukan hal-hal baru, dan simulasi terhadap bagian-bagian atau unsur-unsur dari karya seni baru yang akan diciptakan. Guru besar yang lahir di Singapadu, Gianyar Bali ini menyampaikan 5 (lima) tahap penciptaan seni. Tahap penciptaan seni yang pertama adalah mencari dan mendapatkan inspirasi untuk berkarya (ngawirasa). Setelah mendapatkan inspirasi, kreator seni dapat mengekplorasi dan mengadakan penelitian/riset untuk mendapatkan bahan dan materi karya yang memadai (ngawacan).
Selanjutnya merancang atau menyusun konsep karya seni (ngarencana), menuangkan latihan-latihan untuk menguasai karya (ngwangun), dan tahap terakhir mementaskan dan menyajikan karya ciptaan di hadapan publik. Sementara itu, Dr. G.R. Lono Lastoro Simatupang mepaparkan mengenai penelitian kepustakaan seni. Menurutnya, penelitian kepustakaan sumber informasinya berasal dari tulisan baik tulisan cetak maupun elektronik.
Kategori sumber tulisan, terang Lono berasal dari dokumen pribadi, dokumen lembaga, media massa, karya tulis akademik, seperti skripsi/tesis/disertasi, artikel jurnal ilmiah dan sebagainya. “Penelitian kepustakaan itu bagian dari percakapan. Dalam percakapan bisa saja mengandung kritik, perluasan, penolakan, sehingga percakapan tidak selalu benar,” ujar Lono Lastoro.
Pada kesempatan yang sama, Prof. Dr. H. Haris Supratno menyampaikan materi penelitian sastra dan seni pertunjukan pada masa pandemi covid-19.Ia mengatakan, ada empat macam metode pengumpulan data yakni pengamatan, wawancara, pencatatan, dan perekaman."Fungsi sosiologi karya sastra/seni pertunjukan sebagai hiburan, alat pengesahan pranata sosial, alat pendidik, dan alat pemaksa agar masyarakat mematuhi nilai-nilai norma yang dianut masyarakat," terangnya.Selain itu, guru besar FBS Unesa juga memaparkan teori-teori yang digunakan dalam penelitian sastra/seni pertujukan seni. Ada 12 teori yang bisa digunakan. Di antaranya adalah memesis, hermeneutik, feminis, reseptif/resepsi, semiotik, fungsional/fungsi, historigrafi, simbol/interaksi simbolik, mistisisme, konflik, hegomoni, dan ekologi.“Dalam masa pandemi ini penelitian-penelitian dialihkan dari lapangan ke penelitian pustaka. Hal itu salah satunya untuk mempermudah mahasiswa, “ tandas Haris. (Aida)
Share It On: