Pemerintah mengandalkan ujian nasional (UN) sebagai instrumen pemetaan kualitas pendidikan secara nasional sekaligus standardisasi pendidikan. Kebijakan UN di Indonesia telah memunculkan pro dan kontra dalam dunia pendididikan. Peliknya permasalahan yang telah berlangsung selama satu dasawarsa sejak 2003 silam itulah yang diangkat tim KPKM Unesa dalam ajang presentasi KPKM tingkat nasional di Jakarta, Minggu (22/9). Menurutnya, UN dari sudut pandang UU No. 20 Tahun 2003 pasal 8 ayat 1 tentang sistem pendidikan nasional adalah bahwa evaluasi belajar dilakukan oleh pendidik secara berkesinambungan untuk memantau proses, kemampuan, dan perbaikan hasil belajar. Menurut ahli tes, ujian nasional juga bertentangan dengan kaidah pendidikan. Selain itu, terjadinya malpraktik dengan kesan yang sempit tentang pemaknaan pendidikan karena hanya mengandalkan aspek kognitif serta berkaitan dengan disvaritas mutu sekolah, efisiensi anggaran yang belum menjamin mutu lulusa sesuai dengan harapan. Kondisi itu juga diperparah dengan fenomena ketidakjujuran kerap terjadi karena UN dianggap momok dalam dunia pendidikan. Fenomena itu menginspirasi M. Imam Sudibyo (Pendidikan Fisika), Hengky Herdianto (Pendidikan Fisika), dan Lailatul Maghfiroh (Psikologi) dalam mengajukan gagasan kritis berjudul "Tinjauan Kritis Rekonstruksi Ujian Nasional sebagai Alat Ukur Kompetensu Bukan Alat Penentu Kelulusan". Melalui kompetisi adu argumen, paparan fakta, dan tawaran solusi alternatif yang logis, mereka berhasil menjadi juara III presentasi tingkat nasional dalam ajang KPKM antarperguruan tinggi se-Indonesia. Dalam presentasinya, rekonstruksi UN sebagai alat ukur kompetensi yang didasarkan UU Sisdiknas dalam penjelasan pasal 35 ayat 1 ialah kompetensi lulusan merupakan kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap (afektif), pengetahuan (kognitif), dan keterampilan (psikomotorik). Keputusan kelulusan ditentukan oleh sekolah dengan menggunakan beberapa pertimbangan internal sekolah melalui pemerintah daerah. Bentuk rekonstruksi UN yang dijadikan pedoman itu meliputi tahap penegasan fungsi UN, pengembangan varian kompetensi, dan standardisasi kelulusan yang bersifat otonomi daerah. Pada akhir presentasinya, mereka merekomendasikan bahwa (1) pada pembuatan kebijakan perlu tidaknya UN, pemerintah hendaknya perlu mengutamakan konsep pemetaan mutu pendidikan dibandingkan dengan penentuan kelulusan yang dipatok dengan angka-angka tertentu, (2) perlu meninjau kembali antara konsep tujuan UN dengan tujuan pendidikan nasional, (3) pihak penyusun instrumen UN hendaknya memberikan penambahan kriteria penilaian kelulusan dalam UN, tidak hanya menekankan penilaian dari aspek kognitif, melainkan juga aspek aektif dan psikomotorik sebagai wujud bahwa penilaian tersebut objektif. (Byu)