Andrzej Cirocki atau Andy Cirocki (tengah-berdiri-baju kotak-kotak), pakar dari UK memberikan kuliah tentang penggunaan AI dalam penulisan akademik dalam kuliah tamu internasional FBS UNESA.
Unesa.ac.id. SURABAYA—Penggunaan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) dalam dunia pendidikan masih menjadi pembahasan yang mengemuka di berbagai mimbar akademik. Penerapan AI dalam dunia pendidikan tinggi juga dibahas Andrzej Cirocki atau Andy Cirocki dalam kuliah tamu internasional Fakultas Bahasa dan Seni (FBS), pada Jumat, 1 November 2024 lalu.
Dalam kegiatan yang berlangsung di Ruang Perpustakaan, lantai 4, Gedung T14, FBS, Kampus 2 Lidah Wetan itu, profesor dari University of York, United Kingdom tersebut lebih spesifik membahas bagaimana menggunakan AI dalam penulisan akademik di hadapan sejumlah mahasiswa perwakilan program studi selingkung FBS.
Dia membawakan materi tentang “AI in Education: Enhancing Learning Experiences or Hindering Development.” Kuliah tamu internasional ini dibuka dengan pengisian kuesioner, guna menelusuri sejauh mana mahasiswa sebagai audiens dalam penggunaan AI selama perkuliahan.
Data yang terinput nantinya berencana akan diteliti lebih lanjut oleh profesor dari University of York itu dalam penelitiannya terhadap AI. Setelah itu, Andy mengulas tentang AI yang sudah melekat dalam kegiatan akademik.
Salah satu yang akrab dengan civitas yaitu ChatGPT, yang bisa dijadikan teman belajar. Selain itu, juga ada tools lain yang bisa dimaksimalkan sebagai teman belajar dan bekerja.
Di balik canggihnya AI tersebut, banyak hal yang menimbulkan kekhawatiran. Seperti fitur pendeteksi AI yang dinilai belum optimal dan tidak disarankan dalam pemakaiannya dikarenakan validitasnya tidak sepenuhnya benar.
“Dalam suatu kasus, saya pernah mencoba mengkaji fitur pendeteksi AI ini pada satu paragraf berisikan gagasan yang murni saya kemukakan berdasarkan pengetahuan saya, tetapi betapa mengesalkannya persentase yang AI klaim menyatakan 91% gagasan tersebut merupakan karangan AI,” ucapnya.
Itulah mengapa penggunaan Turnitin sangat optimal hanya pada pendeteksi kesamaan/similaritas karya, tetapi belum pada fitur pendeteksi AI-nya. Meskipun tidak menutup kemungkinan nantinya fitur pendeteksi AI ini akan kian canggih dalam perkembangannya.
Terlepas dari ketentuan universitas terhadap boleh tidaknya penggunaan AI yang tidak dapat dimungkiri di era digital ini, Andy secara pribadi terbuka terhadap berbagai peluang yang ditawarkan AI untuk memudahkan pekerjaan manusia terutama dalam pendidikan.
Di antaranya, karena aksesibilitas AI yang 24/7 dapat diakses dalam menyupport pembelajaran di luar kelas dengan personalisasi pembelajaran penggunanya, untuk mendukung kreasi kreativitas konten, keterlibatan dengan tools interaktif, pembelajaran analisis, penilaian otomatis, dan real-time feedback.
Secara keseluruhan, meskipun perkembangan canggih tools AI telah merambah nyaris semua aspek dalam pendidikan, Andy tetap menegaskan bahwasanya AI tidak akan mampu menggantikan personal real life contact yang menjadi inti pertukaran emosional dalam belajar-mengajar.
Dia menekankan bahwa sah-sah saja memanfaatkan fitur-fitur AI yang tersedia secara gratis, tetapi jangan sepenuhnya bergantung pada hasil yang didapatkan dari tools.
Bagian yang perlu disadari bahwa AI bisa bikin kecanduan, dan dapat membunuh kreativitas murni dan pola pikir kritis dalam memproduksi gagasan. “Selalu crosscheck validitas sumber yang disarankan AI, karena belum tentu sumber rujukan yang AI berikan itu benar,” tegasnya.[*]
***
Reporter: Tarisa Adistia (FBS)
Editor: @zam*
Foto: Tim HUMAS UNESA
Share It On: