AIR Asia yang kami tumpangi mendarat mulus di Bandara KLIA 2. Sempat saya lihat matahari senja siap menyembunyikan diri di balik cakrawala. Jam menunjukkan hampir pukul 19.00 waktu Kuala Lumpur. Sebentar lagi maghrib, dan kami bisa menunaikan shalat maghrib dan isya sekalian sebelum melanjutkan penerbangan ke Korea Selatan.
Saya bersama Dra. Dwi Kristiastuti, M. Pd dan Dra. Lucia Tri Pangesthi, M.Pd. Bertiga kami akan menghadiri XXIII IFHE World Congress 2016. IFHE singkatan dari International Federation of Home Economics. Merupakan satu-satunya organisasi dunia yang concern pada ilmu kesejahteraan keluarga dan konsumen. Didirikan pada tahun 1908, IFHE adalah sebuah NGO internasional dan memiliki status konsultatif dengan United Nations/UN (ECOSOC, FAO, UNESCO, UNICEF) dan dengan Konsul Eropa. Anggota IFHE tentu saja adalah para profesional di bidang home economis atau ilmu kesejateraan keluarga, atau ilmu keluarga dan konsumen (family and consumer science). IFHE menyelenggarakan kongres empat tahunan, dan dihadiri oleh ratusan delegasi dari berbagai negara di lima benua. Kalau saat ini Korean Home Economics Association yang menjadi host sebagai wakil region Asia, empat tahun yang lalu, Australia yang menjadi host. Empat tahun yang akan datang, Atlanta sudah dipastikan akan menjadi host-nya.
Saya sendiri menjadi member IFHE sejak 2011, dan sejak tahun ini, Bu Lucia dan Bu Dwi bergabung. Jurusan PKK juga baru saja bergabung sebagai organization member tahun ini.
Begitu memasuki Bandara KLIA 2, kami langsung menghampiri petugas di bagian informasi. Kami menunjukkan boarding pass kami, dan petugas mengeceknya di komputer di depan dia, serta mengatakan kalau kami harus ke Gate P4 untuk check in nanti.
Kami lantas mencari mushala. Tidak sulit karena di mana-mana bisa dengan mudah ditemukan penunjuk arah. Begitu menemukan mushala, kami bersyukur. Mushalanya bersih, sejuk. Sajadah terlipat rapi di rak kayu di sisi kiri mushala dan beberapa mukena menggantung di sisi kanan. Waktu kami akan mengambil air wudhu, terdengar informasi bahwa saat ini sudah waktunya shalat maghrib. Pas.
Di mushala itu ada beberapa kursi hitam. Saya sempat bertanya-tanya dalam hati, untuk apa kursi-kursi itu. Lantas saya ingat ibu mertua saya yang selalu shalat dengan duduk di atas kursi. Jadi untuk orang-orang seperti itulah rupanya. Di luar mushala, saya juga melihat ada baby tafel, tempat yang memudahkan ibu-ibu untuk mengurus bayinya saat berganti popok.
Kesan saya, mushala ini ramah. Untuk semua kalangan, termasuk untuk orang-orang berkebutuhan khusus dan bayi. Mungkin seharusnya seperti itulah mushala di semua bandara.
Di Indonesia, saya melihat sudah ada beberapa bandara yang menyediakan baby tafel, tapi di toilet, bukan di mushala. Saya belum pernah melihat mushala yang menyediakan tempat duduk untuk orang yang tidak bisa shalat secara normal. Ibu saya bisa shalat dengan berdiri, namun setelah sujud, beliau harus duduk, karena kondisinya tidak memungkinkan untuk berdiri di rakaat selanjutnya. Maka beliau memilih shalat sambil duduk di atas kursi. Kursi membantu sekali dalam hal ini, karena tidak mengharuskan beliau duduk di bawah, yang akibatnya harus 'krengkel-krengkel' untuk berdiri.
Kami akan berlama-lama di KLIA 2 ini karena penerbangan kami masih lima jam kemudian. Perut lapar dan kami menuju restoran di lantai dua. Saat akan membayar, baru ingat kalau kami tidak memiliki uang seringgit pun.
"Sorry, may we pay by Visa? Credit card?" Tanya saya pada petugas, sepertinya keturunan India.
"Yes, can, can."
Sungguh beruntung. Lebih beruntung lagi saat menyadari betapa simpelnya berkomunikasi. Orang Malaysia pintar berbahasa Inggris, dan kami mudah sekali memahaminya. Saat tadi kami bertanya "Do you have rice?" Dia menjawab, "Yes, have, have." (Bersambung.../Arohman/Basyir)
Share It On: