Ada 31 mahasiswa FMIPA Unesa yang tergabung dalam Teacher Immersion Program (TIP) mempraktikkan cara mengajar di sekolah internasional Singapura. Pada (8 21/07) lalu mereka terbang ke Singapura untuk menimba pengalaman dari guru senior Asian Education ConsortiumCollege(AECC), sebuah sekolah swasta di Singapura yang menampung siswa-siswi dari berbagai negara seperti China, Korea, dan Filipina.
Calon guru RSBI yang terdiri atas 13 mahasiswa Jurusan Pendidikan Matematika, 8 mahasiswa Jurusan Pendidikan Fisika, 5 mahasiswa Jurusan Pendidikan Biologi, 4 mahasiswa Jurusan Pendidikan Kimia, dan 1 guru RSBI SMPN 1 Banjarbaru Kalimantan Selatan itu mendapatkan materi tentang jenjang pendidikan formal (Singapore Education Journey) dan kurikulum yang digunakan sekolah-sekolah di sana. Di AECC mereka melakukan observasi proses belajar mengajar di kelas, kemudian diberi kesempatan juga untuk mengajar secara mandiri. Bahasa formal yang dipakai adalah bahasa Inggris.
Sebagai calon guru di RSBI, mereka perlu mengenal kurikulum internasional. Singapura menggunakan kurikulum Cambridge GCE (General Certificate of Education), yaitu kualifikasi akademik yang diadopsi secara bilateral dengan Universitas Cambridge di Inggris. Umumnya kurikulum ini membagi dua jenjang: O-level (ordinary level atau setara SMP) yang ditempuh selama 4-5 tahun dan A-Level (advanced level atau setara SMA) yang ditempuh selama 2 tahun. Di AECC mahasiswa Unesa mengajar siswa jenjang O-Level.
Kurikulum yang berbeda membuat mahasiswa Unesa harus beradaptasi dengan cepat. Wawan, mahasiswa Pendidikan Fisika mengungkapkan bahwa materi fisika pada jenjang O-level lebih banyak contoh aplikasi daripada rumus-rumus. Sementara itu Isti, mahasiswa Pendidikan Matematika menyatakan bahwa materi matematika pada jenjang O-level terlalu berat untuk ukuran SMP di Indonesia. Materi matematika di Singapura lebih mengedepankan why, yakni pada jawaban pertanyaan mengapa, bukan sekadar hasil. Hal-hal seperti ini dapat diterapkan saat mengajar siswa RSBI di Indonesia, ungkapnya.
Dari 31 mahasiswa tersebut dipilih 7 orang untuk melakukan observasi di Tanjong Katong Girls School, yaitu salah satu sekolah pemerintah terbaik di Singapura. Devi, mahasiswa Pendidikan Kimia yang melakukan observasi di sekolah khusus putri itu berkata, Tanjong Katong menerapkan pendidikan leadership, siswi diajarkan untuk mewujudkan emansipasi. Murid-muridnya juga cenderung lebih warm daripada di AECC. Mereka selalu menyapa dengan sopan ketika berpapasan di jalan, salam hangat seperti "Hai teacher"atau "Good morning teacher" sambil menundukkan kepala tanda menghormati sering dijumpai. Dari sini saya tahu bahwa pendidikan karakternya terbukti berhasil. Guru-gurunya juga relatif muda. Mereka mengajar lebih inovatif dan menggunakan ICT untuk menunjang kegiatan pembelajaran.
Senada dengan Devi, Lia pun menambahkan, Bahkan ada guru matematika yang meminta siswa membuka laptop untuk bermain game. Game-nya mirip permainan ZUMA . Saya tidak menyangka ternyata guru tersebut sedang menggali pemahaman siswa tentang konsep sudut dari game tersebut. Pendekatan contextual learning dan student centered sungguh diterapkan . (Dinar/Bayu/syt)
Share It On: