Prof. Imam Syafi’i dikukuhkan sebagai guru besar bidang kepelatihan sepak bola usia dini Fakultas Ilmu Keolahragaan dan Kesehatan (FIKK) Universitas Negeri Surabaya (UNESA). Ia berbicara tentang naturalisasi dan pembinaan talenta muda sepak bola nasional dalam pidato pengukuhannya.
Unesa.ac.id. SURABAYA—Indonesia menjadi negara terbesar yang menggunakan pemain naturalisasi dalam dunia sepak bola. Pada kualifikasi Piala Dunia 2026, pemain naturalisasi Indonesia mencapai 81,81%. Angka ini melampaui pemain naturalisasi yang digunakan Maroko, 61.5%, Senegal 39%, dan Swiss 34,7% pada Piala Dunia 2022.
Naturalisasi sepak bola Indonesia pernah dilakukan tahun 1951 pada Arnold van der Vin asal Belanda sebagai penjaga gawang. Belakangan, naturalisasi terus dilakukan, dan masifnya yaitu pada kepengurusan PSSI di bawah kepemimpinan Erick Thohir, paling banyak menggunakan pemain naturalisasi (sampai sekarang setidaknya ada 17 pemain naturalisasi).
Keberhasilan Timnas Sepak Bola Indonesia dengan strategi naturalisasinya memang patut diacungi jempol. Dari aspek peringkat, FIFA World Rankings, Indonesia naik dari posisi ke-173 pada Desember 2019 ke posisi 125 pada Desember 2024, dan sekarang turun sedikit ke posisi 130, karena mengalami kekalahan di Piala AFF.
Selain itu, prestasi secara tim, dalam sejarah sepak bola Indonesia, baru kali ini berhasil meloloskan tim pada semua kelompok umur di Piala Asia, mulai dari kelompok U-17, U-20, U-23 hingga timnas senior. Timnas senior pun berhasil lolos putaran 3 kualifikasi Piala Dunia 2026.
‘Tidak Bisa’ Mengandalkan Naturalisasi
Bahkan baru pertama dalam sejarah, Timnas Putri Indonesia menjadi juara Piala AFF 2024 dengan tiga pemain naturalisasi. Hal itu diungkapkan Prof. Imam Syafi’i dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar kepelatihan sepak bola usia dini di Graha Sawunggaling, Universitas Negeri Surabaya (UNESA) Kampus II Lidah Wetan, Surabaya, pada 22 Desember 2024 lalu.
Dalam orasinya berjudul ‘Naturalisasi, Antara Pergeseran Peradaban Global, dan Tantangan Pembinaan Sepak Bola Nasional’ itu, Prof Imam menegaskan bahwa strategi mendatangkan pemain asing itu bisa saja dilakukan bahkan tidak melanggar aturan, tetapi tidak bisa terus-menerus diandalkan untuk jangka panjang.
“Pertanyaannya sampai kapan naturalisasi ini dilakukan? Bagaimana kesempatan pemain lokal kalau 81% line-up-nya pemain naturalisasi? Untuk apa kita melakukan pembinaan? Untuk apa kita menggelar kompetisi dan kursus pelatih kalau produk pembinaan kita tidak ada salurannya,” tukasnya.
Mengacu pada sejumlah negara besar seperti Jerman, Belgia, dan Jepang misalnya, ketika timnasnya terpuruk bukan melakukan naturasalisasi secara masif, tetapi memprbaiki pembinaan talenta sepak bola sejak usia dini dan usia muda.
Perbaikan Pembinaan Berkelanjutan
Karena itu, menurut Imam, program naturalisasi di Indonesia harus diselaraskan dengan pembinaan internal sepak bola nasional dengan memperbaiki youth development-nya, kurikulum pembinaannya, memasifkan dan meningkatkan kualitas pembinaan usia dini dan usia muda, peningkatan kualitas sumber daya pelatih, kualitas kompetisi, organisasi, infrastruktur hingga etos kerja.
Hal itulah yang belum sepenuhnya dilakukan. Etos kerja stakeholder sepak bola belum maksimal. Sering membuat program jangka pandek dan jangka panjang, tetapi hanya menjadi dokumen laporan saja yang ditaruh di rak sebagai naskah akademik belaka, tetapi jarang dijadikan acuan dan diimplementasikan.
Berbagai dokumen program, capaian atau ‘data base’ perkembangan pembinaan sepak bola nasional harus menjadi dasar kebijakan dan diimplementasikan sepenuhnya dengan komitmen dan etos kerja yang kuat. “Kalau pembinaan internal ini serius kita lakukan dari hulu ke hilir, maka prestasi timnas dan sepak bola tanah air akan melejit dengan pemain binaan kita sendiri,” tutupnya.
Biodata Singkat
Imam Syafi’i lahir di Bangkalan, 24 Januari 1966. Ia menyelesaikan sekolah dasar hingga menengah atas diselesaikan di tempat kelahirannya, lalu menyelesaikan program sarjana Pendidikan Kepelatihan Olahraga di IKIP Surabaya (UNESA). Selanjutnya, ia memeproleh gelar magister di Universitas Airlangga (Unair) dan gelar doktor di UNESA.
Gelar profesor bidang kepelatihan sepak bola usia dini yang ia sandang tidak lepas dari ketertarikannya di dunia sepak bola sejak kecil. Kendati karir sepak bolanya sampai di kompetisi internal Persebaya, tetapi kontribusinya di organisasi dan dunia sepak bola tidak diragukan lagi. Ia menjadi pengurus PSSI tingkat provinsi (5 periode, 1999--2018) hingga pusat, dan menjadi pengurus KONI Jawa Timur.
Pengalamannya di level internasional pun banyak, di antaranya menjadi PIC Sekolah Sepak Bola Real Madrid Foundation di Sidoarjo, dan terlibat dalam program Indonesia-Amerika Soccer Exchange di San Fransisco. Prestasi timnya yang menjuarai Phuket International Turnament mengantarkannya menjadi pelatih coaching clinik di Bangkok.
Pengalamannya tersebut membuatnya semakin fokus mendedikasikan diri pada pembinaan sepak bola usia muda dengan mendirikan empat academy sepak bola. Banyak talenta muda asuhannya yang kini bermain di klub besar dan menembus tim nasional. Beberapa di antaranya seperti Marselino Ferdinan dan Hugo Samir. Ia dikukuhkan sebagai guru besar bidang kepelatihan sepak bola usia dini Fakultas Ilmu Keolahragaan dan Kesehatan (FIKK) UNESA pada 22 Desember 2024. [*]
***
Reporter: Muhammad Azhar Adi Mas’ud (FBS)
Editor: @zam*
Foto: Tim HUMAS UNESA
Share It On: