Ilustrasi tanda ikatan pernikahan atau tunangan yang banyak dikhawatirkan generasi muda dewasa ini. (foto: Adenir Figueiredo Carvalho/pexels.com).
Unesa.ac.id, SURABAYA– Pernikahan yang dahulu dipandang sebagai salah satu fase penting dalam kehidupan, kini dihadapi dengan keraguan oleh banyak milenial dan Gen Z. Banyak dari mereka memilih untuk menunda atau bahkan tidak menikah sama sekali. Fenomena ini mencerminkan perubahan besar dalam cara pandang terhadap institusi pernikahan, yang tak lagi dianggap sebagai keharusan sosial.
Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia, jumlah pernikahan pada tahun 2023 tercatat sebanyak 1.577.255, mengalami penurunan dari tahun 2022 yang mencapai 1.705.348. Penurunan angka pernikahan ini menjadi salah satu indikator bahwa minat generasi muda terhadap pernikahan semakin berkurang.
Siti Jaro'ah, dosen Psikologi, Fakultas Psikologi, Universitas Negeri Surabaya (UNESA) menyebutkan, menikah memang merupakan suatu keputusan besar yang menandai fase perjalanan hidup seseorang. Tak sedikit yang ragu mengambil keputusan tersebut karena beberapa kekhawatiran, seperti perceraian dan KDRT.
"Sekarang, terutama di perkotaan, pergaulan bebas yang dulu dianggap tabu kini menjadi lebih banyak dijalani. Karena kekhawatiran dan faktor lainnya, banyak pasangan yang memilih menjalani hubungan tanpa ikatan formal seperti pernikahan," paparnya.
Ketidakpastian ekonomi adalah salah satu faktor utama yang mempengaruhi kekhawatiran terhadap pernikahan. Generasi muda menghadapi tantangan finansial yang lebih berat dibandingkan generasi sebelumnya, seperti meningkatnya harga properti, tingginya biaya hidup, dan lain-lain.
Selain itu, perubahan pandangan sosial juga mempengaruhi keputusan generasi muda terhadap pernikahan dan keluarga. Istilah "banyak anak, banyak rezeki" yang populer di masa lalu, kini mulai bergeser menjadi "banyak anak, banyak tanggungan".
Pandangan masyarakat dulu atau di daerah, pernikahan dianggap sebagai salah satu pencapaian utama dalam hidup seseorang, terutama dalam memenuhi ekspektasi sosial dan membangun keluarga. Pernikahan di usia muda dipandang sebagai hal yang umum dan diharapkan.
Namun, sekarang pernikahan tidak lagi dianggap sebagai prioritas utama bagi sebagian besar generasi muda. Mereka lebih memilih fokus pada pengembangan diri, pendidikan, dan karier sebelum memikirkan pernikahan.
Mengatasi berbagai kekhawatiran terhadap pernikahan, ada beberapa langkah yang bisa diambil untuk membantu individu merasa lebih siap. Salah satunya dengan memperkuat pendidikan pranikah, agar pasangan memahami tanggung jawab, tantangan, dan komitmen yang akan dihadapi dalam pernikahan.
"Dengan pemahaman yang lebih mendalam, ketakutan terhadap perceraian, KDRT, atau ketidakcocokan bisa diminimalisir," jelasnya.
Selain itu, konseling pranikah juga dapat menjadi solusi bagi mereka yang ingin mempersiapkan diri secara lebih matang. Konselor dapat memberikan panduan mengenai cara menghadapi tantangan dalam pernikahan dan memberikan pandangan yang lebih realistis tentang hubungan jangka panjang.
Di sisi lain, penting juga bagi pasangan untuk melakukan komunikasi terbuka terkait ekspektasi dan batasan dalam pernikahan. Pasalnya, sepasang suami istri harus paham dalam hal keuangan dan tanggung jawab bersama.
Dosen kelahiran Kota Kayu Jati itu menegaskan generasi muda yang memutuskan untuk menikah atau tidak perlu menyiapkan keputusan secara matang dalam jangka panjang. Bagi mereka yang menikah persiapan mental, emosional, dan finansial adalah kunci utama dalam membangun pernikahan yang langgeng.
Dengan pendekatan yang tepat, kekhawatiran terhadap pernikahan dapat diatasi, dan institusi pernikahan dapat kembali menjadi bagian penting dari kehidupan yang sehat dan bahagia.[]
***
Reporter: Mohammad Dian Purnama (FMIPA)
Editor: @zam*
Foto: Tim HUMAS UNESA
Share It On: