www.unesa.ac.id
Unesa.ac.id, SURABAYA–Mewujudkan toleransi antar agama merupakan tanggung jawab bersama. Sikap saling memahami dan menghargai bukan untuk ditagih kepada pihak lain, tetapi harus sama-sama ditunjukkan dalam bentuk perilaku sehari-hari. Anak-anak muda pun harus ambil bagian untuk mewujudkan itu. Karena itulah, HMJ PG PAUD Universitas Negeri Surabaya menyelenggarakan Webinar Lintas Agama dengan tema “Memperkuat Toleransi Beragama di Era Digitalisasi 2021” pada Sabtu (30/10/2021).
Kegiatan itu diikuti 275 peserta mahasiswa dari berbagai universitas di Indonesia. Velita Haryaningrum selaku ketua HMJ PG PAUD UNESA menyampaikan bahwa salah satu landasan webinar tersebut adalah untuk meningkatkan sikap toleransi terhadap sesama sebagai umat beragama dan menjunjung tinggi nilai hidup saling menghormati, menghargai dan berbuat baik kepada sesama tanpa memandang ras, suku, kelompok dan agama.
Sri Widayati, M.Pd., Ketua Laboratorium Jurusan PG PAUD UNESA menyatakan bahwa era digital ini, rasa persatuan dan kesatuan memang sering diuji dengan penyebaran informasi yang berbau suku, ras bahkan agama di media sosial. Bahkan tidak sedikit yang bersinggungan dengan fanatisme agama yang bisa menyulut emosi dan menimbulkan kebencian sebagian kelompok masyarakat atau agama. “Saya berharap, anak-anak muda harus menjadi garda depan menumbuhkan rasa toleransi di tengah masyarakat, jika ada informasi yang ada unsur memecah belah, langsung dihentikan dan luruskan jika informasi itu tidak benar,” ujarnya.
Pemateri pertama, Nurul Hikmah, Lc., M.HI., selaku Dosen MK Agama Islam Universitas Negeri Surabaya yang menyampaikan materi tentang ‘Toleransi Beragama bagi Generasi Muslim Milineal’. Ia menyatakan bahwa Allah SWT menciptakan dunia dan kehidupan ini dalam bentuk yang beragam; bangsa yang berbeda, bentuk tubuh dan warna kulit serta bahasa pun beragam. “Tuhan yang menciptakan perbedaan itu, mengapa kita sebagai manusia malah mempersoalkannya?,” tukasnya.
Perbedaan, lanjutnya, bukan alasan untuk memecah belas rasa persatuan, justru dari perbedaan itulah alasan untuk saling menyatukan dan merangkul satu sama lain. “Sikap intoleransi yang merusak kerukunan selama ini, sebenarnya bukan karena perbedaan, tetapi karena kita dan keegoisan kita sendiri,” tandasnya.
Sementara itu, Drs. Rovy Agus Sapto Priyono selaku Dosen MK Agama Kristen Universitas Negeri Surabaya menuturkan bahwa dalam perspektif Kristen, toleransi manusia diciptakan segambar dan serupa dengan Allah, serupa bukan dalam bentuk fisik, tetapi dalam wujud sifat dan kehendak yang memiliki nilai-nilai mulia. Menurutnya, di era informasi dan digital ini, baiknya generasi muda saling mengembangkan jiwa dan sikap bersahabat, saling jujur, memuliakan sesama, mencari dan mengembangkan bersama peluang untuk memupuk jiwa besar sebagai negara kesatuan Republik Indonesia.
Dr. Budinuryanta Yohanes., M.Pd., Dosen MK Agama Katholik Universitas Negeri Surabaya menjelaskan bahwa salah satu tantangan rasa persaudaraan di era digital ini yaitu terbukanya ruang kebebasan di satu sisi dan adanya krisis di sisi lainnya. Krisis salah satunya disebabkan karena jarangnya silaturahmi dan tatap muka lantaran komunikasi beralih ke ruang daring. “Meski kita saling berkunjungnya jarang dan banyak berkomunikasi via aplikasi pesan singkat atau media sosial. Namun, jangan sampai saling melupakan, justru harus saling menguatkan baik dalam solidaritas maupun religiusitas,” imbuhnya.
Toleransi, dalam ajaran Hindu juga mendapat porsi yang cukup tinggi. Nilai-nilai toleransi menurut Hindu yang pertama Tri Kaya Parisudha yaitu diawali dengan berpikir, ketika pikiran baik, ucapan pun akan baik. Ketika pikiran dan ucapan baik, perilaku juga akan ikut baik. Kedua, Vasudaiva Kutumbhakam artinya semua mahkluk adalah saudara yang bersumber pada Tuhan. Ketiga ada prinsip Tat Tvam Asi artinya apapun yang ada di luar diri tidak jauh berbeda dengan diri sendiri. Karena itulah, harus saling menghargai dan menghormati. [Humas UNESA]
Share It On: