www.unesa.ac.id
Unesa.ac.id, SURABAYA—Masalah stunting di Indonesia masih menjadi perhatian. Angka kasus masih tinggi tiap tahunnya. Persoalan stunting itu dibahas dalam Seminar Nasional Kependudukan yang diselenggarakan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Kependudukan, Universitas Negeri Surabaya (UNESA) secara daring pada Sabtu, 26 Agustus 2023.
Dengan mengusung tema “Menuju Keluarga Bebas Stunting Untuk Indonesia Sejahtera”, kegiatan tersebut menghadirkan pemateri; Dr. Mila Rahmawati, M.S., Direktur Pemaduan Kebijakan Pengendalian Penduduk BKKBN Pusat, Nyigit Wudi Amini, S. Sos., M. Sc., Sekretaris Perwakilan BKKBN Provinsi Jawa Timur, dan Dr. Sonny Harry B Harmadi, Ketua Umum Koalisi Kependudukan Indonesia.
Mila Rahmawati mengatakan prevalensi stunting SSGI pada 2022 masih di angka 21,6% yang berarti 1 dari 5 anak di Indonesia mengalami masalah gizi. Stunting sendiri didefinisikan sebagai kondisi kurang gizi kronis khususnya pada baduta di 1.000 hari pertama kehidupan atau HPK yang berlangsung lama. “1.000 HPK ini merupakan masa emas seorang anak, karena hampir semua kemampuan dasarnya dibentuk saat periode itu,” terangnya.
Hal itu tentu menyebabkan terhambatnya perkembangan otak dan tumbuh kembang anak yang pada jangka lama memiliki dampak pada kemampuan kognitif anak. Selain itu, peningkatan risiko penyakit tidak menular sering terjadi bahkan akan mengalami disabilitas saat usia tua.
Dia menekankan masyarakat paham betul terkait usia ideal menikah untuk mencegah stunting sejak awal. Pada pengasuhan 1.000 HPK, orang tua juga harus paham betul terkait masalah stunting dan mengasuh anak dengan prinsip asah, asih, dan asuh.
Sementara itu, Sonny Harry menyebut adanya stunting di Indonesia merupakan tantangan gizi di tengah periode bonus demografi Indonesia. Pasalnya 70,42% penduduk Indonesia didominasi usia produktif yang berpotensi mempercepat pertumbuhan ekonomi negara.
Menurutnya, manfaat bonus demografi tak akan optimal jika produktivitas penduduk rendah, apalagi masih ada tantangan lain seperti iklim, cuaca, dan lainnya. “Kalau pemenuhan gizi dan pola asuhnya kurang baik, bakal ada ribuan bayi menjadi penyandang disabilitas yang padahal itu bibit unggul Indonesia saat tahun emas nanti. Kondisi pangan akan mempengaruhi kependudukan, begitupun sebaliknya,” tegasnya.
Pada kesempatan itu, Nyigit Wudi Amini mendorong remaja dan mahasiswa agar menjadi garda depan dalam penurunan angka stunting. Ada tiga poin dalam pencegahannya, yakni, penyebaran informasi tentang stunting melalui media sosial, menjadi agen percepatan penurunan stunting, dan peduli pada lingkungan yang ada catin, ibu hamil dan balita.
www.unesa.ac.id
“Program mahasiswa peduli stunting pada mahasiswa bisa lakukan seperti kuliah umum, integrasi mata kuliah, hingga KKN yang mana mahasiswa terjun langsung ke lapangan,” jelasnya.
Dia berharap program peduli stunting pada mahasiswa tidak hanya terpaut pada program formal, melainkan juga tumbuh menjadi kesadaran pribadi yang melekat pada setiap individu.
Dengan cara ini, diharapkan bahwa langkah-langkah kecil yang diambil oleh setiap individu akan memiliki dampak positif yang lebih luas, menciptakan lingkungan di sekitar yang mendukung pertumbuhan anak-anak dengan lebih baik dan bebas dari risiko stunting. [*]
***
Penulis: Mohammad Dian Purnama
Editor: @zam Alasiah*
Foto: Dokumentasi Tim Humas
Share It On: