Literasi (budaya baca-tulis) baik sebagai tema diskursus maupun sebagai sebuah gerakan, saat ini tengah menjadi tema yang seksi. Ia diseminarkan di mana-mana dan jadi bahan obrolan kaum cerdik pandai. Ia pun menjadi perhatian tidak hanya oleh pemegang politik kekuasaan (partai), tapi juga ekonom (perusahaan). Ibu-ibu pejabat hingga ibu rumah tangga pun merasa harus ikut ambil bagian untuk merayakan gairah literasi ini. Namun demikian terkait dengan budaya aliterasi (bisa membaca, tapi tidak membaca) terjadi di masyarakat kita. Tak terkecuali di lingkungan pendidikan. Tak ingin virus aliterasi itu makin akut, Program PPG (Pendidikan Profesi Guru) Unesa mentradisikan penerbitan buku pengalaman SM-3T. Tahun ini adalah tahun kedua lahirnya buku pengalaman sarjana mengabdi di daerah terpencil itu. Buku SM-3T angkatan kedua itu berjudul Jangan Tinggalkan Kami . Budaya keberaksaraan (literacy) dapat menjadi kunci untuk membuka pintu modernisasi, partisipasi, empati, demokratisasi, desentralisasi ilmu pengetahuan, perbaikan taraf hidup terutama ekonomi, serta kemajuan suatu bangsa. Bahkan laporan UNESCO pada 2005 yang berjudul Literacy for Life menyebutkan adanya hubungan erat antara illiteracy (ketidakberaksaraan) dengan kemiskinan. Karena itu, PPG Unesa secara konsisten menerbitkan buku kisah SM-3T tiap tahun. (Arm/Byu)