Bagi sebagian mahasiswa, TOEFL merupakan momok. Apalagi keberadaannya kini diwajibkan oleh sebagian besar universitas di Indonesia sebagai prasyarat kelulusan baik di jenjang sarjana, magister maupun doktoral. Fenomena itu yang melatarbelakangi doktor baru Universitas Mataram (Unram) ini untuk melakukan riset penyebab kegagalan mahasiswa dalam TOEFL. Kecermatan dalam menemukan masalah dari fenomena itulah yang patut diapresiasi dari wisudawan terbaik jenjang S-3 ini sebab ia mampu menentukan fokus penelitian penyebab tes TOEFL mahasiswa pada aspek gender yang dikaitkan dengan faktor filosofi bahasa dan pragmatik. Berdasarkan penelitiannya itu, ia berhasil menemukan faktor-faktor penyebab kegagalan mahasiswa dalam menjawab soal Listening pada TOEFL dan peringkat (ranking). Saya berhasil mengklarifikasi ranking penyebab kesulitan menyimak yang diajukan Brown and Yule (1983). Temuan tersebut orisinil, belum pernah ada sebelumnya, paparnya. Ia berharap dari disertasi ini, guru atau dosen bahasa Inggris memperhatikan perbedaan karakteristik mahasiswa termasuk gender dalam mengajarkan bahasa Inggris. Perlakukan mahasiswa sebagai individu, minimal sebagai kelompok, bukan sebagai kumpulan makhluk yang homogen, tambahnya. Untuk dapat menyelesaikan studi tepat waktu yakni tiga tahun, ia harus rela berkutat dengan tumpukan jurnal dan buku-buku selama berbulan-bulan bahkan tahunan. Tempat tidur penuh buku dan modem sampai terbakar gara-gara browsing yang tidak tahu batas waktu, kenangnya. Hambatan pun ada. Waktu itu ada ko-promotor yang mengundurkan diri sebab ketidakcukupan kapasitas beliau untuk membimbing saya dalam topik ini. Saya sempat panik, saya harus segera mencari dosen pengganti yang bersedia menjadi ko-promotor. Alhamduliah tidak saya duga, ternyata Kaprodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Pascasarjana Unesa bersedia menjadi ko-promotor saya, jawabnya. Selain itu, hal yang tak kalah rumit dalam penyusunan disertasi adalah mengharmoniskan saran, kritik, dan gaya penulisan kepada tujuh penguji. Ditambah juga dengan momen saat ujian yang sangat menguji intelektualitas, sikap akademis, dan tanggung jawab ilmiah atas isi disertasi. Selama menempuh pendidikan S-3 di Unesa, dosen kelahiran Raba Bima Nusa Tenggara Barat, 1966 itu berkesan pada kondisi kampus pascasarjana Unesa yang jauh lebih baik dibandingkan pada tahun 2010 silam. Namun dari sudut layanan akademis masih terdapat oknum staf yang kurang sabar dan kurang ramah dalam melayani mahasiswa. Seharusnya pascasarjana itu memiliki kemampuan layanan konsumen melebihi karyawan bank sebab pascasarjana itu menjual jasa, tuturnya. Sejujurnya saya sedih, orang sejenius Ferdinand de Sausure tidak sempat menuliskan ilmunya yang bisa dijadikan sumber asli. Buku yang kita jadikan acuan sekarang adalah kumpulan catatan ceramah/kuliah dari mahasiswa beliau. Belajar dari kasus itu, saya ingin menyumbangkan pengetahuan saya yang sedikit ini bagi orang banyak melalui tulisan. Tidak perlu menunggu hebat baru berbagi seperti sabda Rasulullah, sampaikanlah walau seayat, curhatnya. Siapakah mahasiswa terbaik jenjang S-3 ini? Dialah Dr. Arifuddin, dosen bahasa Inggris Unram yang telah menyelesaikan studinya di prodi S-3 Pendidikan Bahasa dan Sastra (Inggris) dengan diserasi berjudul Inferring Implicatures from Short Conversations in TOEFL-like: Gender-specific and Rankings of Causes of Failure . (Putri/Byu)