Ucapan pria berkacamata ini menyiratkan perlu adanya revitalisasi dan reinterpretasi nilai-nilai Pancasila guna pembangunan bangsa. Hal tersebut perlu dilakukan karena nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila kini mulai luntur dan hampir tidak ada implementasi konkretnya. Hal ini dibenarkan oleh Prof. Dr. Syafii Maarif yang juga menjadi pemateri dalam acara yang mengusung tema "Harapan, Peluang, dan Tantangan Pembudayaan Nilai-Nilai Pancasila". Dengan demikian, Prof. Warsosno menyumbangkan pemikirannya agar Pancasila tidak hanya berhenti pada tataran lisan yang selama ini sering diperdebatkan oleh beberapa pihak.
Pemikiran yang dimaksud mencakup beberapa hal. Pertama, pemahaman hakikat sila-sila pancasila. Pemahaman tersebut perlu dilakukan sebab hakikat sila-sila Pancasila menurut Notonagori masih bersifat abstrak dan masih bersifat tematik (menurut Drijarkara). Oleh karena itu perlu dikaji, dijabarkan menjadi lebih operasional, dan terukur sehingga memudahkan pelaksanaannya. Hakikat kelima sila, antara lain: (1) ketuhanan, (2) kemanusiaan, (3) persatuan, (4) musyawarah mufakat dalam memutuskan kepetingan bersama, dan (5) keadilan sosial.
Kedua, butuh pedoman yang operasional. Implementasi Pancasila sebagai pandangan hidup membutuhkan suatu pedoman yang lebih operasional dan itu telah ada pada era orde baru dengan dirumuskannya Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) sebagai penjabaran dari fungsi Pancasila. P4 yang terdiri dari 36 butir, kemudian dikembangkan menjadi 45 butir, merupakan penjabaran yang lebih operasional dari fungsi Pancasila sebagai pandangan hidup. Paling tidak dengan butir-butir P4, ada acuan yang lebih jelas, bagaimana seharusnya sikap dan perilaku dari setiap warga negara Indonesia dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Namun sejak reformasi, mekanisme pemasyarakatan dan pembudayaan Pancasila sebagai pandangan hidup kurang mendapat perhatian serius dari pemerintah. Untuk itu perlu adanya perbaikan yang didasarkan pada berbagai fakta. Bangsa-bangsa yang maju, bukan karena faktor sumber daya alam, bukan karena jumlah penduduk yang besar, dan juga bukan karena usia kemerdekaan, melainkan karena bangsa tersebut memiliki karakter, seperti kejujuran, tanggung jawab, kerja keras, toleransi, kepedulian, dan ketaatan kepada aturan. Oleh karena itu, jika ingin membangun bangsa dan negara, yang harus dilakukan adalah membangun karakter dengan membuat pedoman yang jelas dan operasional dari Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa.
Ketiga, pendidikan Pancasila. Pendidikan sebagai bagian dari kebudayaan merupakan hal yang sangat strategis dan menentukan masa depan suatu bangsa. Lindon Johnson, mantan presiden Amerika mengatakan bahwa semua persoalan bisa diatasi dengan satu kata, yaitu pendidikan. Persoalannya adalah ke mana arah pendidikan, apa yang menjadi prioritas dalam pendidikan, dan bagaimana implementasi pendidikan di setiap tingkat satuan pendidikan bangsa Indonesia. Hal-hal tersebut membutuhkan sebuah jawaban. Untuk itu, jika berkeinginan membangun bangsa dan negara ini, harus dimulai dari pembangunan karakter dan karakter bangsa adalah Pancasila.
Selain itu, perlu dirumuskan kembali penjabaran nilai Pancasila ke dalam rumusan yang lebih operasional dan terukur, serta pembenahan materi pelajaran Pancasila di setiap satuan pendidikan. Pada tingkat Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP), materi pendidikan Pancasila lebih ditekankan pada fungsi Pancasila sebagai pandangan hidup. Hal itu berarti bahwa pendidikan Pancasila di SD dan SMP semestinya lebih ditekankan pada aspek afektif dengan materi nilai-nilai karakter dengan metode keteladanan dan pembiasaan, sedangkan pada tingkat Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) dan Perguruan Tinggi (PT), pendidikan Pancasila lebih ditekankan pada fungsi Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi dengan pendekatan yang kontekstual dan rasional. [Rizka Amalia_Humas]
Share It On: