Prof. Endang Pudjiastuti Sartinah menyampaikan pidato pengukuhannya tentang “Peran Strategis Bimbingan dan Konseling Anak Berkebutuhan Khusus: Mewujudkan Pendidikan Inklusif yang Holistik.”
Unesa.ac.id. SURABAYA—Pendidikan inklusif merupakan upaya untuk memberikan hak yang sama kepada semua anak, termasuk Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Prinsip inklusivitas menekankan bahwa setiap anak, tanpa memandang latar belakang fisik, mental, sosial, atau emosional, berhak untuk belajar dan berkembang dalam lingkungan pendidikan yang mendukung.
Inklusivitas saja tidak cukup, tetapi juga membutuhkan peran strategis berupa bimbingan dan konseling. Sebab, anak berkebutuhan khusus menghadapi tantangan yang sangat beragam, baik dalam aspek perkembangan sosial, emosional, maupun akademis.
Urgensi pendekatan bimbingan dan konseling itu ditekankan Endang Pudjiastuti Sartinah saat pengukuhannya sebagai guru besar bidang bimbingan dan konseling anak berkebutuhan khusus, pada 29 Oktober 2024, di Gedung Pertunjukkan Sawunggaling, UNESA, Kampus 2 Lidah Wetan.
Dalam orasinya yang berjudul “Peran Strategis Bimbingan dan Konseling Anak Berkebutuhan Khusus: Mewujudkan Pendidikan Inklusif yang Holistik,” dia menuturkan, konselor pendidikan berfungsi sebagai fasilitator yang membantu ABK dalam mengatasi hambatan mereka, serta menumbuhkan potensi yang mereka miliki secara menyeluruh.
Peran bimbingan dan konseling ini melibatkan berbagai aspek. Pertama, peningkatan keterampilan sosial. Konselor membantu ABK mengembangkan keterampilan komunikasi dan interaksi sosial agar mereka dapat berpartisipasi penuh dalam kehidupan sekolah dan masyarakat.
Kedua, penguatan emosional. Banyak ABK yang mengalami tekanan emosional atau kesulitan beradaptasi dengan lingkungan. Konselor memiliki peran penting dalam membantu mereka mengelola perasaan, mengatasi stres, dan membangun rasa percaya diri.
Ketiga, dukungan akademis yang tepat. Tidak semua metode belajar cocok untuk ABK. Konselor dapat membantu menyesuaikan strategi pembelajaran sesuai dengan kebutuhan individu setiap anak, memastikan mereka dapat mencapai potensi akademis terbaik mereka.
Anak berkebutuhan khusus memerlukan intervensi khusus untuk membantu mereka mencapai potensi maksimal. Sebab, mereka memiliki kondisi yang berbeda, ada yang disabilitas netra, disabilitas rungu, disabilitas intelektual, disabilitas fisik, disabilitas majemuk, dan lain-lain, yang memerlukan pendekatan holistik.
Pendidikan Inklusif yang Holistik
Prof. Endang Pudjiastuti Sartinah bersama keluarga besar di hari pengukuhannya sebagai guru besar bidang bimbingan dan konseling anak berkebutuhan khusus UNESA.
Menurutnya, pendidikan holistik bukan hanya mencakup aspek akademik, tetapi juga meliputi pengembangan karakter, keterampilan sosial, serta kesehatan mental dan emosional. Untuk mencapai pendidikan holistik ini, bimbingan dan konseling harus menjadi pilar utama yang mendukung proses pendidikan inklusif.
Konselor berperan untuk memahami anak secara utuh bukan hanya berdasarkan kesulitan yang mereka hadapi, tetapi juga dari potensi yang bisa dikembangkan. Dengan pendekatan holistik, konselor harus mampu melihat ABK sebagai individu yang unik, dengan kekuatan dan tantangan yang berbeda.
Kemudian merancang intervensi yang menyeluruh, yang tidak hanya membantu ABK di dalam ruang kelas, tetapi juga dalam kehidupan sosial dan emosional mereka, dan yang tidak kalah pentingnya konselor mampu bekerja sama dengan guru, orang tua, dan tenaga pendidik lainnya untuk menciptakan lingkungan yang mendukung perkembangan optimal ABK.
Dalam kajian penelitian yang dilakukannya bersama tim, salah satu tantangan terbesar yang dihadapi ABK ialah kesulitan dalam penyesuaian diri dan interaksi sosial. Anak-anak ini kerap mengalami hambatan dalam memahami aturan sosial dan berkomunikasi dengan teman sebaya, yang sering berujung pada isolasi sosial dan, dalam beberapa kasus, perilaku agresif atau penarikan diri.
Penelitiannya menemukan bahwa modifikasi permainan tradisional seperti petak umpet mampu meningkatkan keterampilan sosial siswa tunagrahita ringan. Pada sisi akademik, banyak ABK kesulitan mengikuti kurikulum reguler karena berbagai faktor, seperti hambatan kognitif atau gangguan konsentrasi.
Dalam hal ini, dia menyarankan bimbingan yang fokus pada program vokasional, yang memungkinkan anak-anak untuk mengasah keterampilan non-akademis yang sesuai dengan kebutuhan mereka.
Masalah emosional termasuk kecemasan dan frustasi, perilaku umum seperti hiperaktif atau impulsif, terutama dialami oleh anak dengan autism spectrum disorder (ASD) dan attention deficit hyperactivity disorder (ADHD) perlu perhatian.
Selain itu, ABK sering menghadapi stigma dan diskriminasi dari lingkungan sekitar, untuk itulah, diperlukan juga berupa dukungan lingkungan, baik dari sekolah maupun keluarga, sangat krusial bagi perkembangan ABK. Terkait akses pendidikan vokasional juga dikembangkan model bimbingan karir anak berkebutuhan khusus.[*]
***
Tim Reporter: Retno Nurus Sholekha (internaship), Saputra (FBS), M Dian Purnama (FMIPA), Zakariya Putra Soekarno (Fisipol), Dewanda (Internship), dan M. Azhar Adi Mas’ud (FBS).
Editor: @zam*
Foto: Tim HUMAS UNESA
Share It On: