Prof. Endang Pudjiastuti Sartinah menyampaikan pidato pengukuhan sebagai guru besar bimbingan dan konseling anak berkebutuhan khusus UNESA.
Unesa.ac.id. SURABAYA—Anak berkebutuhan khusus atau ABK masih dihadapkan pada stigma masyarakat, dan permasalahan lain seperti perilaku seksual misalnya. Permasalahan ini sering terjadi, tetapi jarang dibicarakan secara terbuka alias masih dianggap tabu.
Hal itu menjadi salah satu poin penting yang disampaikan Endang Pudjiastuti Sartinah, saat menyampaikan pidato pengukuhan sebagai guru besar, pada 29 Oktober 2024 lalu di Gedung Pertunjukkan Sawunggaling, UNESA, Kampus 2 Lidah Wetan.
Profesor bimbingan dan konseling anak berkebutuhan khusus UNESA itu mengatakan, hingga kini topik perilaku seksual sering dianggap tabu oleh guru maupun orang tua, sehingga upaya penanganannya belum maksimal.
“Oleh karena itu, bimbingan perilaku seksual menjadi layanan yang sangat penting untuk diberikan, terutama bagi ABK,” ucapnya.
Guru pembimbing dan orang tua memiliki peran sentral dalam layanan ini. Tujuan utamanya untuk memastikan perilaku seksual siswa sesuai dengan norma dan nilai yang berlaku, seperti norma agama, sosial-budaya, serta hukum.
Agar layanan ini bisa maksimal, dibutuhkan bahan acuan yang dapat membantu guru pembimbing dan orang tua dalam memberikan layanan bimbingan perilaku seksual yang tepat bagi ABK.
Bahan acuan yang dimaksud bisa dalam bentuk paket layanan bimbingan perilaku seksual seperti yang dikembangkan Endang Pudjiastuti Sartinah bersama timnya. Paket layanan bimbingan yang mereka kembangkan tersebut khusus untuk tunagrahita.
“Kami telah uji coba di SLB AKW 2 dan SLB Dharmawanita Sidoarjo. Produk dari penelitian ini mencakup booklet, buku pedoman, dan tiga film edukasi, di antaranya berjudul ‘Senyummu Bahagiaku’ dan ‘Bahagiamu Anganku’,” bebernya.
Solusi dan Rekomendasi
Dalam mewujudkan pendidikan inklusif yang holistik tentu bukan tanpa tantangan. Di lapangan, masih banyak kendala yang dihadapi, mulai dari kurangnya tenaga konselor yang terlatih secara khusus untuk menangani ABK, hingga sistem pendidikan yang belum sepenuhnya adaptif terhadap kebutuhan anak berkebutuhan khusus.
Tantangan ini tidak boleh menjadi penghalang. Sebaliknya, harus menjadi pendorong untuk terus berinovasi dalam bidang pendidikan dan konseling. Menurut Endang Pudjiastuti Sartinah, setidaknya ada tiga rekomendasi untuk peningkatan kualitas profesional bimbingan dan konseling ABK.
Pertama, penguatan pelatihan untuk konselor. Konselor pendidikan harus mendapatkan pelatihan yang memadai dalam menangani ABK.
Pelatihan ini harus mencakup pemahaman mendalam tentang kebutuhan anak-anak dengan berbagai jenis disabilitas, serta keterampilan praktis dalam memberikan dukungan yang sesuai.
Kedua, Kolaborasi antara sekolah, orang tua, dan masyarakat. Pendidikan inklusif hanya bisa berhasil jika semua pihak yang terlibat (sekolah, keluarga, dan masyarakat) bekerja sama secara erat. Konselor pendidikan harus menjadi penghubung yang aktif dalam mendorong kolaborasi ini.
Ketiga, pengembangan kebijakan yang mendukung. Pemerintah dan institusi pendidikan harus terus mengembangkan kebijakan yang mendukung keberhasilan pendidikan inklusif, termasuk alokasi sumber daya yang cukup untuk layanan bimbingan dan konseling.[*]
***
Tim Reporter: Retno Nurus Sholekha (internaship)
Editor: @zam*
Foto: Tim HUMAS UNESA
Share It On: