Creative writing is a prospective career path. Many writers have proved it. Yet, we should take the opportunity, learn and practice a lot since success comes not from one big step, but from many serious ones. We must be happy here, now, to learn creative writing from the right person a remarkable writer from the United States, Prof. Brenda A Flanagan...
Itulah ungkapan pembuka moderator saat mengawali workshop menulis kreatif bertajuk How to Develop Basic Creative Writing Skills pada Jumat (18/10). Seisi auditorium FBS Unesa, sekitar 350 mahasiswa tampak antusias saat workshop ini diadakan. Brenda Flanagan dikenal secara internasional dengan presentasi dramatis dalam fiksi dan puisinya. Setelah menyabet M.A dan Ph.D dari University of Michigan - Ann Arbor, kini ia menjadi profesor di Davidson College in North Carolina, USA. Flanagan mengajar menulis kreatif, sastra Karibia dan Afrika-Amerika, dan analisis sastra. Karyanya meliputi kumpulan cerpen In Praise of Island Women and Other Crimes (KaRu Press 2005), novel pemengan hadiah You Alone Are Dancing (University of Michigan Press 1996), and novel barunya Allah in the Islands. Publikasi terbarunya Soul Hands Clap in the 60s: History and African American Poetry di jurnal Ilha Dodesterro.
Ia pernah 25 tahun bermukim di Libya. Penulis ini pun kemudian menerbitkan fiksi dan puisinya di jurnal semisal Haight Ashbury Literary Journal, SABLE (England), Caliban, KONCH, Witness, The Indiana Review, The Bridge, Caribbean Studies Journal, dan Caribbean Review. Sementara itu, esainya muncul di American Legacy and Callaloo. When the Jumbiebird Calls, salah satu dramanya juga sukses dipanggungkan di Bonstelle Theatre (Detroit).
Selain itu, Flanagan juga menyabet tiga kalo Hopwood Awards dalam fiksi, drama, dan cerpen. Dia juga memenangi tiga National Endowment for the Humanities Fellowships, empat Global Partners fellowship untuk bekerja sama dengan penulis Czechnya, Mellon Foundation Grant, James Michener Creative Writing Fellowship, dan Michigan Grant for creative writing. Betapa semua itu telah menunjukkan kapasitas dan kualitas Fallagan dalam dunia kreatif yang andal dan tak meragukan lagi.
Tak kalah pentingnya, Flanagan bertindak sebagai duta budaya (cultural ambassador) bagi negaranya. Tugas ini telah membawanya ke Libya, Brazil, Saudi Arabia, Chile, Kuwait, Tajikistan, Morocco, Tunisia, Kazakhstan, Turkmenistan, Chad, Panama, India, dan Czech Republic serta sekarang ke Indonesia, khususya Unesa.
Sejalan dengan topik workshop, penulis yang terinspirasi oleh Robert Frost (terutama dengan puisinya Stopping by Woods on A Snowy Evening) ini memaparkan tentang bagaimana membuat cerita yang berhasil. Dengan memancing-mancing pengetahuan mahasiswa, dia mengajar me-review unsur-unsur intrinsik cerita: karakter, plot, tema, setting, dan sebagainya. Semua harus dibangun dengan proporsional oleh penulis fiksi. Termasuk flash fiction yang terdiri atas maksimum tiga halaman, tegasnya. Meski pendek, flash-fiction juga sama karakteristiknya dengan cerpen atau novel(et); yang beda hanya panjang dan kompleksitas isi cerita. Inilah genre fiksi yang belakangan menjadi tren dalam dunia sastra, termasuk di kalangan penulis AS. Kepraktisan dalam menyikapi hidup telah berimbas terhadap tren penulisan cerpen.
Meski demikian, karakter adalah kunci penting bagi suksesnya sebuah cerita, begitu dia menambahkan. Lewat karakter atau tokoh lah penulis dapat menitipkan pesannya untuk pembaca. Secara dramatis, karakter perlu dibarengi dialog secara tepat. Karena itu, dialog yang dibangun penulis harus establish the personality of the character, dan move the story along. Bagaimana hal itu dilakukan? Menurutnya, sebelum menulis cerita, penulis perlu memetakan sungguh-sungguh bagaimana sifat-sifat karakter (disebutnya character description) terlebih untuk novel, pasti jauh lebih rinci. Unsur-unsur cerita lain bisa menyesuaikan. Semua ini untuk menghindari kemacetan menulis yang mungkin terjadi.
Guna menggunakan ilustrasi dan pengalamannya. Tak lupa, dia menambahkan paparannya dengan membaca salah satu cerpennya yang diambil dari In Praise of Island Women and Other Crimes (KaRu Press 2005). Cara bacanya penuh penghayatan dan memukau serta dihayatinya dengan sepenuh hati. Inilah yang disebut dramatisasi cerpen .
Begitulah, Fallagan membagikan pengetahuan dan pengalaman yang amat kaya dan menggugah. Terlebih, dia ternyata presenter yang luar biasa memukau, menimbulkan semangat dan antusiasme audiens. Bahkan, ada sejumlah penanggap dan penanya setelah presentasi, yang ditanggapinya dengan brilian dan menyenangkan. Tak ayal, sesaat setelah presentasi, Fallagan mendapatkan ucapan selamat dengan bertepuk tangan sambil berdiri (standing ovation). Bagi mereka, itu mengandung makna yang mendalam. Standing ovation bermakna apresiasi atau penghargaan yang penting terhadap presenter yang sukses. (Khoiri/Byu)
Share It On: