www.unesa.ac.id
Unesa.ac.id, SURABAYA-Tragedi Kanjuruhan masih menyisakan duka yang mendalam bagi seluruh masyarakat Indonesia bahkan dunia. Buntut dari insiden tersebut, sejumlah pihak mendapatkan sanksi, sebagian jajaran dicopot dari jabatannya dan sebagian ada yang ditetapkan sebagai tersangka.
Rojil Nugroho Bayu Aji, S.Hum., MA., dosen sejarah Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum (FISH) Universitas Negeri Surabaya (UNESA) menilai bahwa ulasan terkait keamanan, sistem pengamanan dan SOP gas air mata serta pitch invasion itu bagus untuk proses investigasi kuratif.
Mengenai sanksi yang diberikan misalnya kepada Arema FC, menurut Bayu itu tidak menyelesaikan permasalahan. Ada dua problem besar dalam sepak bola Indonesia. Pertama, permasalahan struktural dari sisi penegakan hukum misalnya dan bagaimana stakeholder sepak bola dalam mewujudkan regulasi yang tepat baik teknis maupun non-teknis pertandingan.
Faktor nonteknis tidak bisa diabaikan, karena gejolak atau konflik yang terjadi di dalam maupun di luar stadium seringkali dipicu hal-hal non-teknis.
“Apabila kompetisi dikelola dengan baik, kekecewaan atau konflik yang terjadi bisa terselesaikan,” ucap akademisi yang mengikuti perkembangan sejarah sepak bola dan suporter di Indonesia dan dunia itu.
Kedua, permasalahan cultural. Ini berkaitan dengan ‘tradisi’ dan situasi sosial kondisi suporter yang tentunya memiliki karakter yang berbeda-beda. Nah, ini perlu pemetaan dan penanganan yang tepat bagaimana suporter bertemu dengan tim klub atau suporter lain.
Dari aspek suporter, tambahnya juga ada akar persoalan yang perlu dipotong rantainya. Suporter sendiri harus berani mengakui ‘kesalahan’ apabila melakukan tindakan negatif.
Selanjutnya, suporter harus berperan aktif dalam memutus rantai kekerasan verbal, membuang yel-yel, chant atau lagu yang mengandung unsur kekerasan di antaranya “dibunuh saja”, “gak iso moleh”, “nek kalah rusuh” dan seterusnya.
“Apa jadinya jika chant dan lagu itu dinyanyikan secara terkoordinir seisi stadion, dinikmati, didengarkan anak-anak lalu ditiru? Kekerasan itu akan menumbuh,” tukas Bayu.
Apabila ini terus dibiarkan akan membentuk kesadaran kolektif bersama akan kekerasan dan membangkitkan rasa ‘kebencian’ antar suporter. Ini menjadi catatan penting untuk suporter, klub sepak bola dan stakeholder untuk memutus kekerasan verbal atau simbolik.
“Sejauh ini, sudah ada suporter yang berhasil memutus rantai itu kemudian membuat lagu-lagu yang fokus mendukung timnya dengan lirik-lirik yang kreatif dan positif,” bebernya.
Karena itu yang bisa dilakukan ke depan yaitu tentu memperbaiki regulasi dan penerapannya di level struktural dan memperbaiki atau memutus rantai ‘kekerasan’ antar suporter di level kultural.
Selain itu meningkatkan edukasi dan kesadaran pentingnya kultur sepak bola yang sehat dan menyenangkan. Dia berharap kejadian ini benar-benar jadi pembelajaran dan pembenahan bersama sehingga tragedi Kanjuruhan terjadi lagi ke depan dan iklim sepak bola Indonesia bisa naik kelas. [HUMAS UNESA]
Foto: depok.pikiran-rakyat.com
Share It On: