SURABAYA- Dosen fakultas teknik Universitas Negeri Surabaya (Unesa) Ir Dwi Heru MT mengatakan, penggunaan Bahan Bakar Nabati (BBN) harus ditingkatkan oleh pemerintah pusat. Sebab, penggunaan BBN sebagai campuran BBM memiliki banyak keuntungan. Emisi gas buang yang keluar dari proses pembakaran bisa diturunkan. Misalnya saja, dengan penerapan 10 persen BBN maka pengurangan emisi bisa mencapai 30 persen. "Kalau target campuran sebesar 15 persen malah lebih besar lagi pengurangan emisinya," tambahnya.
Menurut dia, dengan mengeluarkan kebijakan tersebut, pemerintah juga harus berkomitmen dengan membesarkan pabrikan bio fuel. Salah satunya dengan menggalakkan tanaman penunjang produksi bio etanol seperti tebu dan jarak. "Disamping itu harus diberikan subsidi bagi pengusaha agar mereka mau memproduksi secara massal," jelasnya.
Penggunaan BBN itu, kata Dwi, bisa menghemat penggunaan BBM di indonesia sampai dengan 10 persen setiap harinya. Disamping itu, proses produksi bio fuel sendiri sangat murah. Untuk bio etanol bisa menggunakan bahan dari tetes tebu, pelepah jagung dan limbah kelapa sawit. Sedangkan bio fuel bisa memakai biji karet dan jarak. "Kalau pemakaian BBM mencapai 1,4 juta barel perhari maka bisa hemat hingga 140 ribu barel. Itu kalau sepuluh persen saja," jelasnya.
Sayangnya, bahan baku yang didapatkan sangat sulit dalam memproduksi BBN. Misalnya untuk memperoleh tetes tebu, pengusaha bio fuel harus berebut dengan pengusaha fitsin sehingga harganya melambung. "Darimana mereka memperoleh bahan baku kalau harus rebutan," jelasnya.
Ada 3 jenis bahan bakar nabati yang dikembangkan di Indonesia dengan skala industri, yaitu biodiesel (FAME), bioetanol, dan bio-oil. Dari 3 jenis bahan bakar nabati di atas, hanya proyek pencampuran biodiesel yang berjalan, walaupun belum sesuai dengan rencana.
Sesuai dengan Peraturan Menteri ESDM No. 25/2013, penggunaan biodiesel yang semula sebesar 7,5%, meningkat menjadi 10% per September 2013. Pada periode Januari hingga Juli 2014, pencampuran biodiesel ke dalam produk biosolar telah mencapai 746 ribu KL.
Harga bioetanol sendiri saat ini mencapai Rp 8600-8700 perliternya. Angka itu sesuai dengan Keputusan Menteri ESDM Nomor 0219/2010 tentang HIP Bahan Bakar Minyak (BBM) dan Bahan Bakar Nabati (Biofuel) yang dicampurkan ke dalam Jenis Bahan Bakar Tertentu, dinyatakan bahwa formula harga bioetanol didasarkan pada harga publikasi Argus untuk etanol FOB Thailand ditambah 5%.
"Darimana mereka mendapatkan, sedangkan para pengusaha biofuel ogah-ogahan dengan ongkos produksi yang mahal dan dijual lebih murah," jawabnya. (pras/sir/arm/humas)
Share It On: