www.unesa.ac.id
Unesa.ac.id, SURABAYA-Belakangan ini aksi anak-anak muda yang dilabeli kelompok gangster makin meresahkan warga Kota Surabaya. Sebagian dari mereka sudah diamankan dan diberi pembinaan pemerintah kota (Pemkot) Surabaya. Bahkan tim gabungan pemkot terus melakukan patroli pengamanan dan monitoring pergerakan mereka.
Terkait fenomena gangster ini, Nurchayati S.Psi., M.A., Ph.D, dosen Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP), Universitas Negeri Surabaya (UNESA) memberikan komentarnya dari aspek psikologi. Menurutnya, aksi yang ditunjukan anak-anak muda yang tergabung dalam aksi ‘gangster’ di Surabaya bukan hal baru.
Aksi kekerasan dalam bentuk tawuran antar kelompok remaja sudah lama terjadi, termasuk di Surabaya. Pada 2019 misalnya sempat viral aksi geng remaja seperti Jawara dan Surabaya All Star. “Hanya saja ini baru booming lagi di Surabaya setelah mereka (geng remaja) menyerang petugas keamanan dan warung kopi,” ucapnya. Fenomena ini, lanjutnya bisa dilihat dari beberapa faktor:
01. Perhatian
Anak-anak muda secara psikologis ada di fase sedang mencari jati diri. Mereka ingin dianggap dewasa atau ingin diakui eksistensinya. Nah, untuk memperoleh ini ada yang lewat kegiatan positif dan kadang lewat tindakan yang mengarah pada aksi kekerasan atau tawuran dan sebagainya. “Satu sisi mereka ini bisa juga kurang perhatian dari orang tua, lantas mencari perhatian di luar dengan cara-cara yang arahnya bisa jadi problem sosial,” ujarnya.
02. Lingkungan
Tak dapat perhatian di lingkungan keluarga bisa memicu remaja menyalurkan atau mencari perhatian di lingkungan pertemanannya. Mereka bisa bebas bercerita, menyampaikan keinginan dan keresahannya dengan teman-temannya di tempat tongkrongan.
Jika lingkungan pertemannya positif, tentu mereka bisa menyalurkan energinya ke arah yang positif. Namun, ketika lingkungan pertemanannya negatif yang tentu bisa berbahaya. Remaja bisa punya ruang dan peluang untuk menceritakan, merencanakan dan melakukan apa saja di dalam lingkungan pertemanannya. “Anak-anak yang lugu saja, kalau ada di kelompok pertemanan yang agresif bisa ikutan agresif,” paparnya.
03. Game Konten Kekerasan (Violence)
Ternyata, tawuran dan aksi kekerasan juga disebabkan karena faktor game yang tidak bisa lepas dari keseharian anak-anak muda. Laporan We Are Social, pada awal 2022, menempatkan Indonesia sebagai pemain video game terbanyak ketiga di dunia. Jenis game yang dimainkan remaja bahkan anak-anak ini mengandung unsur kekerasan.
“Satu sisi game perang ini bisa berdampak pada aspek emosi atau mental remaja sehingga terbiasa dengan hal-hal yang sering mereka mainkan di game. Di sisi lainnya, game seperti jadi sarana melampiaskan keresahan mereka dan ujung-ujungnya bisa berdampak pada perilaku mereka sehari-hari seperti lebih agresif dan temperamen misalnya,” terangnya.
4. Pelajaran
Selain itu, juga bisa disebabkan karena kurangnya muatan pelajaran keagamaan yang mereka dapatkan di rumah maupun di sekolah. Bagi Nurchayati, pendidikan agama tidak bisa hanya sebagai pelajaran tambahan, tetapi benar-benar sebagai sarana pendidikan nilai dan karakter anak-remaja. “Kalau arahnya ke sana, berarti bukan hafalan muatannya, tetapi lebih ke praktek atau pembiasaan dan keteladanan. Nilai agama ini bisa menjadi rem buat remaja dalam menyalurkan energi mereka," jelasnya.
Bagaimana Solusinya?
Selain penanganan seperti yang dilakukan tim gabungan Pemkot, ada beberapa hal yang perlu dilakukan bersama agar aksi-aksi remaja ini bisa ditekan. 1) Di tingkat keluarga, orang tua harus sadar akan pentingnya perhatian dan kasih sayang kepada anak. Orang tua harus menjadi sumber perhatian sekaligus sebagai tempat curhat yang nyaman buat anak sehingga terhindar dari potensi salah curhat ke kelompok teman.
Kemudian, di tataran pendidikan juga perlu koordinasi yang kuat antara orang tua dan guru terkait perkembangan dan pergaulan atau aktivitas anak. Ini juga bisa membantu dalam mendeteksi dini arah pergaulan anak. Selain itu, tentu perlu keteladanan dari orang tua dan guru-gurunya di sekolah.
Selanjutnya di level pemerintah kota, tentu selain langkah penanganan lewat patroli rutin dan pembinaan misalnya, juga perlu kebijakan atau memperbanyak program positif melibatkan anak-anak atau remaja. Dalam hal ini, tentu sinergi yang kuat antara pemerintah kota, keluarga, sekolah dan masyarakat bahkan perguruan tinggi bisa menjadi solusi menekan angka kekerasan remaja. Tidak hanya upaya penanganan, tetapi juga perlu langkah tepat dan berkelanjutan dalam aspek pencegahan. [HUMAS UNESA]
Sumber foto : https://www.tribunnews.com/regional/2022/03/21/3-pelajar-di-serang-banten-diamankan-polisi-karena-diduga-hendak-tawuran-2-orang-jadi-korban dan dokumentasi pribadi Nurchayati
Share It On: