www.unesa.ac.id
Unesa.ac.id, SURABAYA-Sosok Fajar Labatjo atau yang biasa dikenal dengan Fajar Sadboy menjadi sorotan di media sosial belakangan ini. Hal itu tidak lepas dari kisah cinta monyetnya yang ‘nahas’. Ditambah dengan kepiawaiannya menyusun ‘quote’ yang ciamik membuatnya sering muncul di linimasa media maya.
Menurut dosen Sosiologi, Universitas Negeri Surabaya (UNESA), Ali Imron, fenomena sadboy yang direpresentasikan oleh sosok Fajar tersebut merupakan hal yang lumrah terjadi di usia remaja. Fase tersebut memang masanya seseorang mencari jati diri dalam membangun identitas diri. Salah satu contohnya seperti adanya ketertarikan kepada lawan jenis.
“Tertarik pada lawan jenis itu salah satu cara remaja mengkonstruksi identitasnya. Masa remaja merupakan masa labil seseorang yang mudah sekali menerima informasi atau pengaruh dari luar tanpa ada pemikiran lebih lanjut atau pertimbangan lebih jauh,” bebernya.
Dilihat dari usianya yang masih 15 tahun, sejumlah pihak menilai Fajar terlalu cepat dewasa dari usianya. Menurut Ali Imron hal itu tidak bisa disalahkan karena itu tidak lepas dari pengaruh perkembangan teknologi dan informasi yang membuat seseorang mencari jati diri secara secondary socialization.
Dari fenomena Fajar ini, yang menarik memunculkan berbagai komentar, satu sisi ada yang menganggap bahwa sadboy yang identic dengan baper (bawa persaan) dan terlalu dalam dengan urusan cinta monyet itu justru bisa merusak generasi remaja yang lain.
Kemudian di sisi lain ada yang bersimpati dengan nahasnya kisah Fajar. Komentar ini justru semakin menaikan rating sadboy di dunia maya. Tidak heran, para Youtuber turut menjadikan kisah Fajar sebagai bagian dari konten mereka.
Fenomena sadboy ini, lanjut dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum (FISH) itu satu sisi memang wajar terjadi, tetapi menjadi tidak baik juga jika terlalu berlebihan. Menurutnya, peran orang tua diperlukan agar anak melalui masa remaja dengan baik menuju dewasa.
“Fase ini memang sangat riskan. Peran orang tua menjadi kunci termasuk membekali anak sebelum memasuki dunia cinta monyet. Jangan sampai anak mendapat bekal justru dari tayangan YouTube, film atau yang lainnya. Karena gampang sekali merasuki pemikiran remaja. Apalagi ditambah lingkungan pergaulan yang tidak mendukung,” bebernya.
Di balik naiknya nama Fajar, tidak lepas dari pengaruh media sosial maupun media massa. Fenomena tersebut menjadi daya tarik tersendiri bagi media. Ali menekankan pada era distrupsi ini banyak media yang menangkap sebuah peristiwa yang berpeluang trending lalu mereproduksi dengan kemasan tertentu untuk ‘dikonsumsi’ publik.
Dalam sosiologi, peran media dalam konteks ini dinamakan komodifikasi. Fajar sebagai suatu komoditas yang dikelola media sehingg bernilai ‘jual’ di pasar publik. “Selain unik, peristiwa seperti ini apabila dipasarkan juga sangat mudah untuk diakses oleh masyarakat seingga tingkat konsumsinya juga akan tinggi,” terangnya.
Dampak yang dirasakan Fajar tentunya dalam jangka pendek mengalami “culture shock” yang membuatnya bingung menempatkan diri pada kondisi tertentu. “Sekali lagi, peran orang tua sangat ditekankan karena selain sebagai kontrol juga yang membantu filter dan mendampingi anak hingga dewasa,” tutupnya. []
***
Penulis: Mohammad Dian Purnama
Editor: @zam Alasiah*
Foto: Gambar oleh PDPics dari Pixabay
Share It On: