Unesa.ac.id, SURABAYA-Tawuran antar pelajar semakin marak terjadi di berbagai daerah. Kasus di Tangerang menyebabkan seorang remaja 16 tahun tewas akhir Maret lalu. Sebelumnya, tawuran juga menyebabkan satu nyawa melayang di Kota Serang. Kejadian yang sama juga terjadi di Kota Pahlawan yang menambah panjang daftar kasus tawuran pelajar atau remaja di Tanah Air.
Selain itu, juga banyak kasus-kasus lain yang melibatkan anak-anak muda usia sekolah. Banyak dari mereka terlibat penyalahgunaan narkoba. Belum lagi, angka kecanduan game online atau gaming disorder remaja bahkan anak-anak terus meningkat.
Kasus-kasus tersebut, menurut Guru Besar PG-PAUD UNESA Prof. Dr. Hj. Rachma Hasibuan, M.Kes., harus menjadi perhatian bersama semua stakeholder, utamanya di Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei 2022. Selama ini, lanjutnya, seluruh elemen sudah melakukan banyak hal untuk mengatasi kasus-kasus yang melibatkan remaja bahkan anak-anak. Tampaknya, upaya selama masih dominan ‘mengatasi’ ketimbang ‘mengantisipasi’.
Menurutnya, kasus-kasus yang melibatkan remaja, memang dipengaruhi banyak faktor, salah satunya kuatnya pengaruh lingkungan atau teman pergaulan. Dalam banyak kasus, pengaruh lingkungan mencengkeram remaja seiring kurangnya peran pendidikan keluarga atau peran orang tua. Atau bisa jadi kontrol dan pengawasan orang tua yang kendor membuat remaja cepat terpedaya pergaulan.
Tugas untuk mengatasi persoalan remaja tersebut memang tidak serta merta dititikberatkan pada lembaga pendidikan. Namun, orang tua atau pendidikan keluarga juga memiliki peran penting. Pendidikan keluarga merupakan pendidikan pertama dan utama bagi anak maupun remaja.
“Sekolah kan sebagai perpanjangan tangan orang tua ya sebagai penguatan kognitif, afektif dan psikomotorik. Tetapi tanggung jawab utamanya tetap kembali ke orang tua. Orang tua harus jadi guru bagi anak, bisa menjadi teman curhat dan teman ngobrol yang asyik bagi anak di rumah,” ujarnya.
Dalam konteks berbangsa dan bernegara, peran orang tua tidak hanya agar anak-anaknya tidak terjerumus ke tindakan yang melanggar norma dan hukum. Namun, lebih jauh sebagai upaya penanaman nilai-nilai Pancasila pada anak sejak dini. Dengan kata lain, profil pelajar Pancasila selain ditanamkan di sekolah, juga perlu menjadi muatan dalam pendidikan keluarga.
www.unesa.ac.id
“Ketika peran orang tua di rumah kuat, peran sekolah juga bagus, kontrol keduanya jalan, ditambah kontrol masyarakat, ini akan menjadi rantai yang mengawasi dan mengontrol pergaulan anak-anak baik di rumah, di sekolah maupun ketika di masyarakat,” paparnya.
Dikatakan Prof Rachma, pendidikan keluarga bahkan sekolah orientasinya tidak melulu soal capaian materi tertentu, tetapi juga sedapat mungkin bergeser ke arah penanaman nilai karakter yang Pancasila. Jika arahnya untuk memperbaiki karakter anak, tentu belajar di rumah maupun di sekolah tidak hanya bermuatan hafalan, tetapi juga berbasis keteladanan dan pembiasaan sikap-sikap dari hal yang paling sederhana. Seperti mengajarkan anak untuk membuang sampah di tempat yang disediakan, cium tangan orang tua dan guru ketika pergi dan pulang sekolah misalnya.
“Karakter Pancasila ini larinya juga ke upaya kita menanamkan rasa cinta bahasa dan budaya Indonesia. Kita harus mengajarkan anak-anak untuk bangga dengan bahasa Indonesia. Bangga dengan budaya Indonesia,” paparnya. “Sehingga kelak, mereka menjadi duta budaya, duta dan duta Pancasila di manapun mereka bekerja, berkarir atau menjabat. Kalau Pancasila sudah kita tanamkan sejak dini, berkarakter luhur seperti tujuan pendidikan, anak-anak kita tidak akan lari ke hal-hal yang terlarang,” pungkasnya. [Humas UNESA]
Penulis : Riska Umami
Editor: @zam*
Share It On: