www.unesa.ac.id
Unesa.ac.id, Surabaya- Undang-Undang Cipta Kerja yang disahkan pemerintah pada 5 Oktober 2020 lalu itu masih menjadi polemic dan diperdebatkan. Pro dan kontra masih terus berlanjut. Gaungnya semakin terasa pada momentum Hari Buruh Internasional atau May Day pada 1 April 2021.
Di tengah semaraknya isu dan “gugatan” terhadap UU tersebut pada momentum May Day, Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Hukum Unesa pun tidak mau ketinggalan. Mereka mengisi Hari Buruh Internasional dengan menggelar forum Dialektika May Day bertema “Telaah Kebijakan UU Cipta Kerja: Pro Rakyatkah?” pada 1 Mei 2021.
Acara yang digelar secara virtual dan disiarkan secara langsung di kanal Youtube itu dihadiri oleh Arinto Nugroho, S.Pd., S.H., M.H selaku ketua jurusan hukum FISH Unesa dan Elisabeth Septin Puspoayu, S.H., M.H, pembina HMJ hokum Unesa, serta 229 peserta dari berbagai kalangan.
Adapun sebagai narasumber yaitu Hari Putri Lestari, S.H., M.H. selaku Anggota Komisi E DPRD Jawa Timur, dan Dr. M. Hadi Subhan, S.H., M.H., C.N. selaku Pakar Hukum Kepailitan dan Ketenagakerjaan, serta Riden Hatam Aziz., S.H. selaku Presiden Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia. Selain itu, juga ada Myra M. Hanartani, Ketua Komite Regulasi dan Hubungan Kelembagaan APINDO.
Sebagai anggota Dewan Provinsi, Hari Putri Lestari memulai pemaparannya dengan latar belakang dan niat pemerintah lewat di balik munculnya UU tersebut. Ia menjelaskan bahwa latar belakang UU Cipta Kerja beberapa di antaranya karena factor lapangan pekerjaan yang berdasar data di lapangan ada sekitar 13 juta orang yang membutuhkan lapangan kerja. Kemudian juga faktor UMKM yang membutuhkan dorongan untuk bertransformasi menjadi formal dan paling penting lagi adalah persoalan perizinan yang rumit dan bertumpang-tindih.
“Kami akan terus monitor kinerja Dinas Ketenagakerjaan Jawa Timur terkait implementasi UU Cipta Kerja. Jika ditemukan pelanggaran di lapangan, atau ada yang belum mengiplementasikan kebijakan tersebut tentu kita akan lakukan evaluasi dan memberikan peringatan kepada perusahaan itu,” tegasnya. “Kita juga berkoordinasi dengan Gubernur untuk membuat PERGUB yang kuat untuk mempercepat kinerja kebijakan tersebut di tingkat provinsi,” sambungnya.
Sementara itu, Hadi Subhan memaparkan tentang “Politik Hukum UU Cipta Kerja (Plus Minus Bagi Pengusaha dan Pekerja)”. Menurutnya, beberapa keunggulan UU Cipta Kerja Klaster Ketenagakerjaan salah satunya adanya kompensasi pekerja PKWT menjadi keuntungan bagi pekerja dan pengusaha.
“Pekerja kontrak sekarang ini dapat kompensasi, kalau dulu tidak dapat. Kita tahu bahwa mayoritas pekerja itu justru dikontrak. Sedangkan bagi pengusaha tidak membebankan karena pekerja tetap ini dikurangi dan akan diberikan kepada pekerja kontrak yang mana disebut juga pesangon berkeadilan,” jelasnya.
Kemudian, Riden Hatam Aziz membahas tentang perspektif Omnibus Law dari sisi pekerja dan masyarakat umum. Menurutnya, UU Cipta Kerja tersebut tidak hanya membahas klaster ketenagakerjaan sehingga menurut para pekerja UU No. 11 tahun 2020 ini isinya mendegradasi hak-hak para pekerja.
“Setidaknya ada 57 pasal yang kami ajukan ke MK, tetapi bila diperkecil ada 11 isu diantaranya status hubungan kerja yang pada saat ini tidak adanya pembatasan kontrak. Maka, kami simpulkan kedepannya para karyawan akan menjadi karyawan kontrak selamanya. Kami menolak keras peraturan tersebut dalam konteks itu,” ungkap Riden. (Esti/zam)
Share It On: