Mochamad Yadi, Ketua Tim Pengelola Sampah Universitas Negeri Surabaya (Unesa) Pembuat Komposter Berawal dari keprihatinan menumpuknya sampah di metropolis, sebuah alat pembuat kompos (komposter, Red) yang disebut-sebut paling efektif muncul dari Kampus Unesa. Inovasi itu tidak terlepas dari peran Mochammad Yadi selaku ketua tim. Apa yang mendasari Anda membuat komposter untuk mengolah sampah? Ide awalnya pada 2001 ketika ada wacana penutupan TPA Keputih. Sebagai akademisi, tentu kami khawatir. Sebab, jika TPA Keputih benar-benar ditutup dan tidak ada lahan lain untuk menempatkan sampah, bisa-bisa Surabaya kebanjiran sampah. Waktu itu, rektor Unesa langsung membentuk tim pengelola sampah. Lima orang dari berbagai disiplin ilmu yang kebetulan concern meneliti sampah dikumpulkan untuk menyusun rencana tindak lanjut program pengelolaan sampah. Diharapkan, sampah yang dibuang ke TPA bisa dikurangi. Kebetulan, saya ditunjuk sebagai ketuanya. Apa yang pertama dilakukan tim tersebut waktu itu? Kami melakukan berbagai percobaan dan mengadakan rekayasa teknologi untuk menciptakan alat sederhana, namun mempunyai efektivitas tinggi untuk mengolah sampah. Untuk mewujudkan hal itu, kami mempelajari berbagai alat pengolah sampah yang ada sebelumnya dan menyempurnakannya, sehingga tercipta sebuah alat baru. Dari situlah komposter ditemukan. Butuh berapa lama untuk membuat "alat ajaib" pengolah sampah itu? Cukup lama. Untuk menyempurnakan komposter tersebut, kami berkutat di laboratorium sekitar delapan bulan. Itu belum termasuk studi bandingnya lho. Komposter itu kan diilhami dari komposter aerob buatan Puslitbangkim. Kami merekayasa ulang untuk menyesuaikannya dengan keadaan masyarakat Surabaya. Sebab, beberapa prinsip pengoperasiannya tidak bisa dilakukan. Misalnya, bentuk alat, luas lahan yang dibutuhkan, maupun aturan pemakaian. Maka, harus diuji ulang dan dibandingkan. Adakah kendala berarti saat membuat komposter tersebut? Sepertinya tidak ada. Hanya, sesekali kami merasa bahwa penelitian itu terasa berat. Sebab, kami harus melakukannya secara detail agar tidak terjadi kesalahan. Komposter tersebut kan berhubungan langsung dengan masyarakat. Kesalahan kecil saja bisa berdampak buruk bagi semua. Rasa putus asa itu langsung hilang saat kami ingat hasil akhir yang akan diperoleh waktu alat pengolah sampah tersebut jadi. Apalagi, teman-teman dan keluarga terus mendukung perjuangan kami. Rumitkah menemukan rekayasa teknologinya? Pada penelitian tersebut, saya baru menyadari bahwa ide-ide kreatif muncul jika kita merasa tertekan. Sebelumnya, kami melakukan segala sesuatu secara konvensional. Setelah merasa kewalahan karena mendapat banyak pesanan, kami akhirnya menemukan cara modern untuk mempercepat pembuatan komposter itu. (Yadi lalu menunjukkan sebuah alat berupa bor khusus untuk membuat lubang aerasi pada komposter buatannya). Bagaimana perasaan Anda setelah alat tersebut selesai dibuat? Tentu senang bukan kepalang. Namun, ada sedikit rasa waswas juga. Sebab, alat tersebut belum dipraktikkan langsung di masyarakat. Setelah selesai, kami langsung me-launching dan menguji coba alat pengolah sampah basah buatan kami tersebut. Oleh Pak Wali Kota Bambang D.H., wilayah RW IX Rungkut Kidul dipakai sebagai daerah percontohan pengelolaan sampah menggunakan komposter aerob buatan kami. Sebanyak 200 komposter dipasang di sana. Apakah kinerja tim pengelola sampah Unesa selesai sampai di situ saja? Tentu tidak. Selama dua tahun kami terus mendampingi masyarakat Rungkut Kidul untuk menggunakan alat tersebut. Hal itu merupakan wujud tanggung jawab kami kepada masyarakat. Tidak hanya masyarakat Rungkut, kami juga mencoba mengenalkan dan mendampingi cara penggunaan komposter pada masyarakat di beberapa wilayah lain di Surabaya. Kami ingin alat kami benar-benar berfungsi baik, sehingga Surabaya bebas dari sampah. Adakah kendala saat menyosialisasikan dan mengenalkan komposter? Tentu saja ada. Kali pertama sosialisasi, kami tidak serta-merta diterima warga. Banyak yang menyangsikan alat kami. Bahkan, hingga kini kami masih sering menerima keluhan dari masyarakat sehubungan dengan penggunaan komposter. Lalu, apa yang Anda lakukan menanggapi hal itu? Begitu mendengar keluhan, kami langsung mendatangi lokasi, mengajarkan, dan mengoreksi cara penggunaan alat pengolah sampah basah buatan kami. Biasanya sih keluhan muncul karena ada beberapa prinsip penggunaan komposter yang tidak dijalankan. Mampukah mewujudkan Surabaya bebas dari sampah dengan bantuan komposter? Saya yakin mampu. Buktinya, sekarang, setelah tiga tahun pemkot mencanangkan pemilahan sampah, jumlah sampah yang dibuang ke TPA Benowo berkurang, meski tidak signifikan. Namun, setidaknya telah menunjukkan progress. Hasil itu akan lebih maksimal jika ditunjang penggunaan alat-alat lain untuk memaksimalkan kinerja komposter. Misalnya, menggunakan alat pencacah sampah, alat perajang sampah, atau alat pemilah sampah. Namun, menurut saya, yang paling penting dari semua itu bukannya kecanggihan alat, tapi kemauan kuat seluruh anggota masyarakat. Menurut Anda, bagaimana kemauan masyarakat Surabaya untuk mengurangi sampah? Secara umum, saya melihat kemauan beberapa kelompok masyarakat cukup tinggi. Namun, masih perlu terus dipupuk. Misalnya, dengan penyelenggaraan kompetisi kebersihan yang diadakan pemkot bekerja sama dengan pihak swasta. Apa kesulitan terbesar untuk menciptakan Surabaya bebas sampah? Salah satunya adalah upaya penanaman budaya baru, yakni pemilahan sampah. Di sini, masyarakat mau membuang sampah di tempatnya saja sudah untung-untungan, apalagi memilah. Masih banyak warga yang belum berpikir untuk mengurangi jumlah sampah, terutama masyarakat pendatang dan wanita pekerja. Waktu mereka banyak tersita untuk mengurusi pekerjaan. Padahal, sebenarnya membuang sampah kan sama saja memindahkan masalah, bukan menyelesaikan. Lalu, bagaimana cara mewujudkan hal itu? Tentu dengan terus melakukan pendekatan dan sosialisasi. Bisa juga menggunakan sistem punishment. Misalnya, sampah yang mereka buang tidak diangkut ke TPS selama beberapa hari. Dengan begitu, mau tidak mau, mereka akan berusaha memilah sampah yang diproduksi. Setelah mereka merasakan dampak pemilahan sampah, saya yakin, tanpa dikomando, mereka akan melakukannya. Setelah sukses membantu pemkot mengurangi sampah menggunakan komposter, apa obsesi Anda yang lain terkait dengan sampah? Sebenarnya saya ingin menjalankan pengolahan sampah tuntas di tempat, sehingga zero waste tidak mustahil lagi diwujudkan. Semua sampah dipilah menurut jenisnya. Bukan hanya sampah organik dan nonorganik, sampah B3 (bahan berbahaya dan beracun) pun langsung dipilah. Jika hal itu benar-benar bisa dilakukan, Surabaya bakal jadi kota percontohan sampah tingkat dunia. (lusie wardani) Tentang Mochamad Yadi Tempat/Tanggal Lahir : Mojokerto, 5 Juli 1948 Istri : Umi Hanik Anak : - Yanti Kartika Sari - Dini Restu Handayani Pendidikan : - SD Sumengko, Jatirejo, Mojokerto (1954-1960) - STN Mojokerto (1960-1963) - STM Siang (Lulus Tahun 1969) - Sarjana Muda Pendidikan Teknik Mesin IKIP Surabaya (Lulus Tahun 1974) - Sarjana Pendidikan Teknik Mesin IKIP Surabaya (Lulus Tahun 1978) - Pendidikan Akta V (Lulus Tahun 1984) Profesi : - Dosen Jurusan Teknik Mesin Unesa ( Sejak Tahun 1974) - Ketua Tim Pengelola Sampah Unesa ( Sejak Tahun 2001) - Instruktur di Pusat Latihan Air Bersih (PLAB) Wiyung (Sejak 2002) Sumber : www.jawapos.com