Pembicara pertama, Dr. Andi Mappiare mencoba mengenalkan pada peserta seminar tentang konseling posmodern. Pada awal pembicaraannya, dosen Universitas Negeri Malang ini menanyakan pada peserta, Mampukah konseling posmodern membentuk karakter berbasis budaya unggul nusantara? . Pertanyaan tersebut berangkat dari permasalahan yang dihadapi bangsa saat ini, ditengarai telah terjadi evolusi budaya, bahkan erosi kebudayaan. Hal ini menyebabkan kepribadian bangsa pudar, karakter nasional kabur serta identitas etnis, religius, seksual tidak lagi berbatas tegas. Semua itu dikarenakan informasi bermuatan pendidikan telah kalah bersaing dengan informasi yang bermuatan politik identitas. Untuk menetralisir keadaan tersebut, maka lahirlah konseling postmodern, suatu ajakan membuat refleksi menuju solusi. Evolusi kebudayaan dan erosi kebudayaan perlu dihadapi dengan revolusi kebudayaan, konseling posmodern adalah senjata dalam revolusi kebudayaan.
Konseling posmodern menekankan pada perspektif endogen (dalam) mengenai hakekat diri (self) dan berfokus pada proses-proses internal konstruksi diri, memberi sedikit perhatian pada konteks sosial yang mempengaruhi fisiologi individual, keberfungsian kognitif, dan pembuatan makna sistemik. Selain itu, secara konstruksionisme sosial, konseling postmodern menampilkan kekhasan perspektif eksogen (luar) yang menekankan proses-proses penyusunan makna sosial. Perhatian diberikan pada mengidentifikasi faktor-faktor budaya dan kontekstual yang mempengaruhi transaksi diskursif sehari-hari.
Peran guru bimbingan dan konseling dalam pembinaan karakter, dijelaskan oleh Prof.Dr.Ahman, M.Pd. Dia menyebutkan hakekat pendidikan menurut Ki Hajar Dewantoro bahwa pendidikan merupakan daya upaya untuk memajukan budi pekerti (meliputi kekuatan batin dan karakter), pikiran, dan jasmani anak didik. Dikaitkan dengan tema peringatan Hari Pendidikan Nasional 2011, pendidikan karakter sebagai pilar kebangkitan bangsa. Bernilai utama karakter bangsa membangun generasi yang jujur, cerdas, tangguh, dan peduli. Guru besar dari Universitas Pendidikan Indonesia ini berharap para generasi muda bebas dari plagiatisme karena menurutnya, menyontek dan plagiat secara filosofis adalah bentuk ketiadaan disiplin dan moral. Dalam hal ini peran bimbingan dan konseling dalam pengembangan karakter menurut pria berkacamata ini adalah dalam proses pengenalan diri oleh konseli yang dipersandingkan dengan peluang dan tantangan yang ditemukannya dalam lingkungan, sehingga memfasilitasi penumbuhan kemandirian konseli dalam mengambil sendiri berbagai keputusan penting dalam perjalanan hidupnya dalam rangka mewujudkan kehidupan yang produktif, sejahtera, dan bahagia serta peduli kepada kemaslahatan umum, melalui berbagai upaya yang dinamakan pendidikan. Hal tersebut sebagai proses pengembangan nilai-nilai inti karakter. (Putri Diyanti-Humas Unesa)
Share It On: