www.unesa.ac.id
Unesa.ac.id, SURABAYA—Prodi S-1 Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa, Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) Universitas Negeri Surabaya (UNESA) adakan pagelaran wayang kulit di Lapangan T1 FBS, pada Senin, 4 September 2023.
Pagelaran berlakon “Bantening Gegayuhan” itu merupakan wujud komitmen prodi dalam melestarikan kebudayaan tradisional. Dengan kolaborasi dua dalang dari mahasiswa; Wisnu Jati Pamungkas dan Muhammad Sufa Syahadila, pertunjukan tersebut tidak hanya sekedar memukau penonton, tetapi juga memberikan pesan moral.
Pertunjukan diisi dengan dialog penuh humor yang menghibur dan juga mengajarkan nilai-nilai kehidupan yang penting. Dekan Fakultas Bahasa dan Seni, Syafi'ul Anam, Ph.D. mengungkapkan, kegiatan ini menggambarkan pentingnya kolaborasi dari berbagai unsur dalam menjaga dan mempromosikan kebudayaan.
Masyarakat dapat lebih menghargai dan merasakan kekayaan budaya lokal tanpa harus meninggalkan budaya luar yang juga berharga. “Kegiatan semacam ini adalah pemantik yang kuat untuk mencintai budaya lokal seiring dengan keberagaman budaya global,” ucapnya.
Dia melanjutkan, kesadaran tentang kebudayaan, baik lokal maupun global, memberikan harapan bahwa warisan budaya akan terus dihargai dan dilestarikan oleh generasi mendatang. Hal ini juga ditunjukkan mahasiswa yang masih menghargai dan meresapi keindahan kebudayaan, yang akan menjadi aset berharga bagi masa depan.
Erdin Syah Putra Gustian, ketua pelaksana mengatakan, inisiatif ini menggambarkan betapa pentingnya melestarikan dan mencintai budaya dalam era modern. Terlalu sering, budaya lokal terlupakan atau tergeser oleh pengaruh budaya luar yang lebih dominan.
Pementasan wayang ini juga membuktikan bahwa budaya lokal dapat tetap relevan dan bernilai, bahkan dalam konteks globalisasi.
www.unesa.ac.id
Lakon yang dibawakan menceritakan seorang tokoh yang bernama Ekalaya, seorang raja dari Paranggelung dan seorang pemanah. Ekalaya merasa tidak cukup dengan kemampuan yang dimilikinya sehingga berguru kepada ahlinya, yaitu Mahaguru Drona (Durna).
Namun, keinginan tersebut dihalangi oleh istrinya yang bernama Anggraini. Dengan keinginannya yang besar, Ekalaya rela meninggalkan Anggraini dan kerajaannya demi menggapai sebuah ilmu.
Dia juga berhasil memenuhi berbagai syarat untuk menjadi murid gurunya, salah satunya adalah dengan memotong ibu jarinya yang terdapat cincin Mustika, cincin yang memberikan manusia kekuatan luar biasa saat dikenakan di jari itu.
Setelah berhasil menjadi siswa Mahaguru Ekalaya disandingkan dengan Arjuna yang juga merupakan pemanah terhebat sehingga dijuluki Palguna-Palgunadi. Singkat cerita, Ekalaya akhirnya tewas di tangan Arjuna akibat adu domba yang dilakukan oleh Aswatama, anak Mahaguru yang tergila-gila dengan Anggraini.
Perempuan tersebut menyusul suaminya ke tempat pelatihan, yang memicu konflik mematikan di antara mereka. Dari cerita itu dapat diambil makna, Jer Basuki Mawa Beya yang mengajarkan manusia untuk senantiasa bekerja keras dalam menggapai apa yang diimpikan. [*]
***
Reporter: Mohammad Dian Purnama
Editor: @zam Alasiah*
Foto: Dokumentasi Tim Humas
Share It On: