Prof. Wagino dikukuhkan sebagai guru besar bidang teknologi asistif Unesa. Ia menyampaikan orasi ilmiah tentang ‘‘Teknologi Asistif untuk Meningkatkan Aksesibilitas Pembelajaran Disabilitas dalam Pendidikan Inklusif.’
Unesa.ac.id. SURABAYA—Indonesia termasuk negara yang memiliki komitmen dan perhatian terhadap penyandang disabilitas. Sejak meratifikasi Deklarasi Salamanca tahun 1997, dan Konvensi PBB tentang Hak Penyandang Disabilitas atau Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD) tahun 2011, negara ‘plus enam dua’ memiliki sekitar 40.165 sekolah inklusi.
Kendati demikian, dalam mewujudkan pendidikan yang inklusi masih dihadapkan pada sejumlah tantangan, dua di antaranya yaitu, 1) keterbatasan tenaga pendidik yang memiliki kompetensi dalam pembelajaran disabilitas, dan 2) aksesibilitas di sekolah inklusi yang masih sangat kurang atau tidak asesible.
Aksesibilitas merupakan kemudahan yang disediakan untuk penyandang disabilitas guna mewujudkan kesamaan kesempatan dalam belajar dan mengembangkan potensi diri.
“Dari pengalaman dan temuan kami di berbagai daerah dan kota, dan dijumpai dalam beberapa kegiatan pendampingan, dua tantangan utama itulah yang perlu menjadi perhatian bersama,” ucap Prof. Wagino saat menyampaikan pidato pengukuhan sebagai guru besar Universitas Negeri Surabaya (Unesa) pada Desember 2024 lalu.
Dalam menjawab tantangan tersebut, guru besar bidang teknologi asistif itu mengajukan beberapa solusi yang harus diupayakan bersama. Pertama, meningkatkan kemampuan dan memperbanyak tenaga pendidik yang memiliki kompetensi dalam membelajarkan peserta didik disabilitas.
Kedua, perlunya pemenuhan aksesibilitas melalui pendekatan akomodasi yang layak atau AYL. Pendekatan ini merupakan modifikasi dan penyesuaian yang tepat untuk menjamin penikmatan atau pelaksanaan semua hak asasi manusia dan kebebasan fundamental penyandang disabilitas berdasarkan kesetaraan.
Ketiga, inovasi teknologi asistif untuk pemenuhan dan peningkatan aksesibilitas di sekolah inklusi. Teknologi asistif adalah barang, peralatan, program atau perangkat lunak, atau sistem produk apapun yang digunakan untuk meningkatkan, memelihara, atau memperbaiki kemampuan fungsional penyandang disabilitas.
Pada kesempatan itu, Wagino menyampaikan inovasi teknologi asistif yang ia kembangkan sendiri maupun bersama tim peneliti dan inovasi. Pertama, smart diagnosis disabilitas untuk para guru dalam membantu peserta didik disabilitas di sekolah, mulai dari melakukan identifikasi, asesmen, sehingga mendapatkan profil dari peserta didik.
Kedua, robot stimulasi pengembangan komunikasi anak autis. “Inovasi ini sudah didesiminasikan forum SEAMEO SEN dan di pusat inovasi UTeM (Universiti Teknikal Malaysia Melaka) Malaysia,” ucap dosen yang homebased di Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) itu.
Inovasi smart diagnosis disabilitas dapat meningkatkan aksesibilitas diagnosis, terutama di wilayah dengan keterbatasan profesional. Pun, aplikasi sangat membantu guru di sekolah inklusi dan praktisi dalam mendeteksi dini dan wawasan berbasis data untuk mendukung perencanaan program intervensi yang lebih efektif.
“Sementara untuk robot stimulasi pengembangan komunikasi dapat meningkatkan perhatian, kontak mata, dan respons sosial pada anak-anak autis,” bebernya.
Wagino menyampaikan rekomendasi untuk meningkatkan aksesibilitas penyandang disabilitas dalam pendidikan yaitu diperlukan kebijakan yang mendorong peningkatan pengembangan dan penggunaan teknologi asistif dalam pendidikan.
Untuk meningkatkan pendidikan inklusif yang berkualitas diperlukan kolaborasi lintas sektor antara pemerintah, perguruan tinggi, sektor swasta, dan masyarakat untuk mengembangkan solusi teknologi yang inovatif dan terjangkau.[*]
***
Reporter: Mochammad Ja’far Sodiq (FIP)
Editor: @zam*
Foto: Tim HUMAS UNESA
Share It On: