www.unesa.ac.id
Unesa.ac.id, SURABAYA-Ketua Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) Jawa Timur mengakui ada ketidaksinkronan antara SOP pengamanan pertandingan dari kepolisian dengan regulasi di PSSI yang di-approve Federasi Sepak Bola Internasional atau FIFA dalam insiden Kanjuruhan.
Ini disampaikan Ahmad Riyadh Ketua PSSI Jatim dalam Sarasehan Ilmu Keolahragaan bertajuk Sepak Bola Damai di Universitas Negeri Surabaya (UNESA) pada Selasa, 18 Oktober 2022.
Riyadh melanjutkan, sepak bola ini cukup kompleks di mana kepentingan apa saja ada di dalamnya. “Memang ada yang kurang sinkron antara SOP kepolisian dan PSSI. Namun, hari itu juga Mabes Polri dan PSSI bentuk tim untuk mensinkronkan SOP tersebut dan hari ini akan difinalkan dengan FIFA di Jakarta,” ujarnya.
“Kita berharap, orang nonton bola seperti nonton konser. Datang senyum dengan anak, istri atau tunangannya dan pulang dengan senang dan kesan yang menggembirakan,” tambahnya.
Komitmen dan Tanggung Jawab PSSI
Ketua Asosiasi Provinsi (Asprov) PSSI Jatim itu menegaskan, semua yang bertanggung jawab dalam kejadian sepak bola dan terakhir di Kanjuruhan adalah PSSI. Mulai ketua umum PSSI sampai anggota Panpel yang paling bawah itu bagian dari PSSI. Ini yang disebut family football. Semuanya dipertanggungjawabkan PSSI.
Tetapi yang perlu diingat, katanya, pertandingan ini bukan 18 tim saja. Satu tim 36 pertandingan. Liga tiga saja ada sekitar ratusan pertandingan. Jika semua ini tanggung jawabnya ketua PSSI, maka tiap 6 jam sekali ketua PSSI dipanggil polisi karena suporter kejepit pintulah dan sebagainya.
“Secara utuh semuanya tanggung jawab PSSI dan itu yang harus diperbaiki semuanya ke depan dan ini kita semua jalan bersama untuk memperbaikinya,” tegasnya.
Riyadh juga turut mengomentari penyelenggaraan pertandingan yang terlalu malam. Dia mengatakan bahwa kerusuhan bukan perkara laga malam atau sore. Namun semua kembali kepada karakter. Menurutnya, jam berapapun pertandingannya, kalau ada yang mau rusuh tetap rusuh. “Pertandingan malam itu bukan yang pertama, ini sudah berjalan ratusan kali,” tegasnya.
Dia tidak menampik salah satu alasan penyelenggaraan pertandingan di malam hari itu karena soal rating. Menurutnya ini tidak bisa dipungkiri, sebab ini merupakan bagian dari instruksi pemerintah yang menjadikan olahraga sepak bola sebagai industri.
Kemudian, dia membeberkan alasan FIFA dalam pertemuan di Kuala Lumpur tidak memberikan sanksi kepada Indonesia. Salah satunya karena kejadian Kanjuruhan bukan atas kelalaian pemerintah atau aparat, tetapi oknum yang saat itu bertugas yang harus bertanggung jawab.
“Buktinya pemerintah mengusut, kepolisian mengusut siapa yang bertanggung jawab dalam porsinya masing-masing,” ucapnya.
Perlu Keterbukaan dan Kajian Bersama
Sementara itu, Ketua KONI Jawa Timur Muhammad Nabil menegaskan bahwa modal untuk memperbaiki sepak bola Indonesia sudah ada yaitu persahabatan. Aspek ini menjadi modal dasar yang paling utama.
Dalam tragedi sepak bola, lanjutnya, tidak bisa hanya mencari sebuah kebenaran kemudian tidak ada yang salah. “Pasti ada yang salah dan apa yang menyebabkan salah. Ini yang seharusnya dibahas dan terbuka, agar tidak ada sekat secara struktural maupun secara psikologis serta kita bisa ketemu akar permasalahannya,” tegasnya.
“Mengenai sepak bola dan tragedi di dalamnya ini memang harus dilakukan kajian terus menerus seperti ini untuk menemukan solusi yang tepat ke depan sampai menemukan akar permasalahannya apa dan solusinya bagaimana,” tutupnya.
Sarasehan Ilmu Keolahragaan UNESA ini menghadirkan sejumlah pihak mulai Prof. Dr. Agus Kristiyanto, M.Pd., dari Asosiasi Profesor Keolahragaan Indonesia (Apkori), Ahmad Riyadh Ketua PSSI Jatim, Dr. Imam B Prasodjo selaku Sosiolog, Tokoh Pendidikan Karakter Prof Muchlas Samani dan Koordinator Suporter, Ignatius Indro. Pembicara ditemani Isa Ansori sebagai moderator.
Selain itu juga dihadiri Ketua KONI Jatim Muhammad Nabil dan jajarannya, Dispora Jatim, jajaran TNI dan Polri, dosen dan praktisi olahraga, mahasiswa dan sejumlah pihak lainnya. [HUMAS UNESA]
Share It On: