Sembilan perguruan tinggi negeri (PTN) di Jawa Timur akhirnya sepakat keluar dari Perhimpunan Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) Nusantara. Dengan keputusan itu, kampus-kampus negeri di Jatim tidak lagi menginduk pada Perhimpunan SPMB Nusantara seperti tahun-tahun sebelumnya. Tapi, mereka melaksanakan seleksi terpadu swakelola tingkat nasional. Keputusan cerai itu diambil setelah para rektor dan perwakilan sembilan PTN bertemu di Kampus Universitas Airlangga (Unair) kemarin (29/2). Keputusan tersebut juga ditandatangani para rektor PTN di Jatim. Yakni, Unair, ITS, UIN Malang, Universitas Jember (Unej), Universitas Trunojoyo (Unijoyo) Bangkalan, Unesa, Universitas Negeri Malang (UM), IAIN Sunan Ampel, dan Unbraw. Rektor Unair Prof Fasichul Lisan menyatakan, PTN di Jatim berani memutuskan keluar dari perhimpunan karena perhimpuan menolak dana dari SPMB sebagai PNBP (penerimaan negara bukan pajak). Sikap perhimpunan itu sesuai surat Perhimpunan SPMB Nusantara Pusat yang ditujukan kepada rektor PTN se-Indonesia tertanggal 21 Februari 2008. Berdasar hasil pertemuan, pernyataan tersebut yang tidak disetujui sembilan PTN di Jatim. "Kami tidak ingin melanggar peraturan," kata Fasich dalam kunjungan ke Jawa Pos kemarin. Ikut bersama Fasich, Rektor Unesa Haris Supratna, Rektor Unibraw Yogi Sugito, dan Pembantu Rektor I UM Kusmintardjo. Menurut Fasich yang juga ketua Peguyuban Rektor Jatim tersebut, keputusan Perhimpunan SPMB Nusantara itu dianggap yang paling tepat. Sebab, kalau pihaknya tetap ikut bergabung, bukan tidak mungkin akan berimplikasi hukum. Dia menyatakan, bertolak pada UU No 20/1997, PP No 22/1997, dan Kepmenkeu No 115/2001 pasal 2 b, secara jelas dinyatakan bahwa penerimaan dari SPMB termasuk PNBP. Karena PNBP, sesuai peraturan, dana yang masuk harus disetorkan ke negara lebih dulu. Karena itu, kata Fasich, bila PTN tetap mengikuti langkah perhimpunan, uang dari SPMB tersebut tidak masuk ke kas negara, namun langsung dikelola sendiri. "Secara teknis cara itu memang lebih mudah. Namun, secara peraturan jelas melanggar," tegas Haris Supratno. Fasich menegaskan, tidak ada maksud khusus di balik keputusan untuk berpisah dari perhimpunan dalam pelaksanaan SPMB tersebut. Misalnya, mengadakan SPMB tandingan untuk mencari keuntungan. "Kami hanya ingin berjalan sesuai jalur. Penyelenggaraan seleksi yang akuntabel," ujar pria kelahiran Lawang, Malang, itu. Dia mengungkapkan, "teguran" mengenai kejelasan dana SPMB kepada PTN itu sudah banyak dipertanyakan publik. Di antaranya, Mei 2007, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga mempersoalkan disiplin pengelolaan keuangan SPMB. Dalam peraturan, jelas disebutkan bahwa rektor bertanggung jawab mengenai SPMB, termasuk soal tata kelola keuangan. "Nah, selama ini kan tidak demikian. Kami sama sekali tidak terlibat. Semua diatur perhimpunan," ungkap Yogi Sugito. Sebagaimana diberitakan, polemik seputar SPMB tersebut mengemuka setelah keluarnya hasil audit BPK bernomor 06/HP/XIII/2007 tanggal 27 Juni 2007. Hasil pemeriksaan menyebutkan, dana SPMB dari PTN termasuk PNBP. Karena itu, dana tersebut harus disetor ke kas negara melalui mekanisme APBN. Faktanya, dana tersebut tidak disetorkan ke kas negara, melainkan langsung digunakan untuk kepentingan SPMB dan operasional panitia dalam koordinasi Perhimpunan SPMB Nusantara. Akibat kebijakan itu, hak negara atas PNBP, khususnya biaya SPMB di PTN tahun anggaran 2005-2006, tidak terealisasi. Jumlah PNBP dari dana SPMB tersebut diperkirakan cukup besar dan setiap tahun naik. Sebab, jumlah calon mahasiswa yang mendaftar ke PTN se-Indonesia selalu bertambah. Pada tahun lalu, peminat SPMB mencapai 396.767 pendaftar. Jika dirata-rata harga formulir Rp 150 ribu saja, dana yang terkumpul mencapai Rp 59 miliar. (ara/git/hud) Sumber : www.jawapos.com