www.unesa.ac.id
Unesa.ac.id, Surabaya - Mahasiswa sebagai generasi muda dan calon duta frekuensi wajib untuk memahami penggunaan frekuensi tepat sasaran dan dampak penggunaannya pada masyarakat luas secara keamanan dan ekonomi. Hal ini dijelaskan oleh Direktur Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika Dr. Ir. Ismail. MT pada acara SDPPI Goes to Campus ‘Arek Suroboyo Ramah Frekuensi’ di Universitas Negeri Surabaya (Unesa).
Dampak penggunaan frekuensi pertama adalah pada keamanan masyarakat. Penggunaan frekuensi yang tidak memiliki izin dapat membahayakan masyarakat diantaranya keselamatan penerbangan jika terjadi interfensi komunikasi antara pilot dengan Air Traffic Controller (ATC) dari frekuensi radio yang digunakan masyarakat dan nelayan. Perangkat telekomunikasi yang tidak tersertifikasi juga dapat membahayakan keselamatan hingga kesehatan pengguna karena tidak sesuai dengan standar.
Kedua adalah dampak ekonomi. Spektrum frekuensi radio adalah sumber daya alam terbatas yang mempunyai nilai strategis dalam penyelenggaraan telekomunikasi dan dikuasai negara. Frekuensi radio harus dijaga dan diatur pemanfaatannya, cara menggunakannya, dan merawatnya karena digunakan untuk berbagai macam sistem dan perangkat. Selain itu penghasilan dari izin penggunaan frekuensi ini pun cukup besar mencapai sekitar 17 – 18 triliun rupiah setiap tahunnya.
“Hampir 95 persen komunikasi bergantung pada mobile communication yang pastinya membutuhkan frekuensi. Ada tiga layer yang dibutuhkan dalam komunikasi yaitu infrastruktur, aplikasi, dan informasi itu sendiri. Ketiga layer ini membutuhkan sumber daya manusia dengan keahlian yang berbeda-beda, di sinilah peran mahasiswa dan akademisi dalam masa depan teknologi Indonesia.” jelas Ismail. Bertumbuhnya teknologi seperti artificial intelligence, Internet of Things (IoT), deep analytics, dan cloud computing menjadikan keamanan digital menjadi semakin penting sehingga diperlukan regulasi.
Pada kesempatan yang sama Tenaga Ahli Menteri Kemkominfo Freddy H. Tulung menjelaskan bahwa publik berhak menggunakan, menikmati, dan mendapatkan manfaat dari frekuensi, baik yang dikelola oleh diri atau komunitasnya sendiri maupun perusahaan yang bersifat komersial.
Kondisi geografis Indonesia yang berupa kepulauan, membuat konektivitas terkadang sulit diwujudkan melalui pembangunan infrastruktur fisik, tetapi dimungkinkan melalui infrastruktur komunikasi maya, terutama jaringan koridor pita lebar (broadband) yang membutuhkan frekuensi.
“Pembangunan perekonomian kompetitif adalah pembangunan berbasis sumber daya alam yang tersedia, sumber daya manusia yang berkualitas, serta kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perkembangan era digital saat ini menjadikan layanan yang diberikan Ditjen SDPPI terkait izin pemanfaatan spektrum frekuensi dan sertifikasi perangkat telekomunikasi semakin penting,” jelasnya.
Acara yang dibuka oleh Dekan Fakultas Teknik Unesa Dr. Maspiyah, M. Kes ini dihadiri oleh sekitar 170 mahasiswa Unesa dari berbagai jurusan. Mahasiswa adalah generasi masa depan dan kini adalah eranya industri 4.0 di mana penggunaan frekuensi menjadi sangat relevan. Diharapkan dapat mensosialisasikan informasi tentang frekuensi ini kepada teman-teman lainnya.
Pada kesempatan yang sama hadir juga pembicara lainnya yaitu Kasubdit Standarisasi Teknologi Informasi Andi Faisa Achmad, Kepala Seksi Penataan Alokasi Dinas Penerbangan, Maritim, dan Satelit Gerson Damanik, Kepala Seksi Sarana dan Pelayanan Balai Monitoring Kelas I Surabaya Henry Pribadi, dan Tenaga Ahli Ditjen Informasi dan Komunikasi Publik Ismail Cawidu.
Sosialisasi ini bertujuan untuk meningkatkan efektivitas penyelenggaraan spektrum frekuensi radio dan sertifikasi perangkat telekomunikasi. Hal ini agar muncul kesadaran bersama untuk menaati peraturan dan mendukung program Kominfo khususnya Ditjen SDPPI. (Tim Humas)
Share It On: