www.unesa.ac.id
Unesa.ac.id, Surabaya- Sebuah keterbatasan fisik bukanlah pilihan dari setiap manusia yang hidup di dunia. Ketika seseorang mengalami kekurangan fisik, maka Tuhan melebihkannya dengan hal yang lain pada dirinya. Itulah kenapa sebagian manusia yang mempunyai keterbatasan fisik bukan menjadi penghalang dirinya untuk melakukan aktivitas bahkan bisa bermanfaat bagi orang lain dan juga negara.
Universitas Negeri Surabaya (UNESA) melalui Pusat Studi dan Layanan Disabilitas (PSLD) mengadakan webinar Internasional dengan tema Athletes with Disability with Global Competitiveness. Pembicara yang dihadirkan pada kegiatan ini, yakni Prof. David Evans, Ph.D selaku Lecturer at Faculty of Art and Social Sciences, University of Sydney, Prof. Te Hung Tsao, Ph. D. selaku Lecturer at Center for Sport and Health Education, National Sun Yet Sen University, dan Sri Sugiyanti, S. Pd. (Peraih 4 medali di Asian Para Games 2018) webinar ini diselenggarakan pada Sabtu (14/11) secara daring.
Dekan Fakultas Ilmu Olahraga Dr. Setiyo Hartoto, M.Kes. dalam sambutannya mengatakan bahwa saat ini Universitas Negeri Surabaya merupakan salah satu Universitas yang ramah kepada mahasiswa disabilitas. Selain itu, saat ini ia juga melakukan kampanye Olahraga Tanpa Batas sebagai upaya menjaga daya tahan tubuh di masa pandemi COVID-19. Kampanye ini didukung pula oleh atlet dan komunitas disabilitas Indonesia diantaranya Unesa.
“Rektor Unesa menyampaikan bahwa instrumen bagi peningkatan produktivitas salah satunya adalah olahraga atau kebugaran jasmani. Maka dari itu kami dari Universitas Negeri Surabaya dalam rangka memperingati hari Dies Natalis ke-56 kita mengadakan berbagai kegiatan salah satunya Webinar ini yang mana saat ini yang mana olahraga dapat dilakukan tanpa batas,” ujar Setiyo Hartoto
Ia mengimbau untuk para atlet disabilitas untuk memperlihatkan prestasi yang luar biasa, baik tingkat nasional maupun internasional. Prestasi dan semangat yang ditunjukkan para atlet difabel membuat pemerintah untuk memfasilitasi kegiatan untuk penyandang disabilitas yang ingin mengembangkan bakatnya.
“Saat ini Unesa sangat mewadahi para atlet disabilitas untuk lebih mengembangkan bakatnya untuk menjadi lebih baik lagi dan umumnya masyarakat supaya mau bergerak dan berolahraga. Apalagi di masa pandemi ini olahraga menjadi salah satu cara yang penting untuk meningkatkan imunitas.”
Setiyo Hartoto mengajak masyarakat untuk aktif bergerak dan melakukan olahraga rutin dengan jenis apapun. Olahraga tanpa batas menjadi salah satu cara membangun kesadaran masyarakat akan pentingnya olahraga.
Selain itu, Setiyo Hartoto juga menegaskan, sebagai kampus inklusi, Unesa harus terus berbenah dan berkembang untuk mewujudkan kampus yang ramah terhadap semua, termasuk mahasiswa disabilitas, serta meniadakan diskriminasi kepada siapapun. “Karena sebenarnya kita semua ini sama, hanya memiliki warna yang berbeda-beda saja” tutupnya.
Prof. Te Hung Tsao, selaku pemateri pertama mengatakan bahwa National Sun Yet Sen University sangat terbuka bagi mahasiswa disabilitas yang ingin belajar di universitas kami. Karena kampus ini juga sudah sangat ramah bagi mahasiswa disabilitas. Selain itu, kami juga memiliki lift disability jadi lift ini di khususkan untuk mahasiswa disabilitas untuk menuju ke lantai 2 dan 3. Kami juga menyediakan beberapa kegiatan olahraga yang ramah bagi mahasiswa disabilitas salah satunya olahraga tenis meja.
“Universitas kami sudah di design untuk ramah terhadap mahasiswa disabilitas dan kami tidak membeda-bedakan antar tiap mahasiswa. Bagi kami semua mahasiswa memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing.
Prof. David Evans selaku pemateri kedua menjelaskan tentang konsep dasar pendidikan bagi penyandang disabilitas di Australia. Ia mengatakan bahwa persiapan guru untuk mengajarkan materi itu berdasarkan pada rata-rata kemampuan atau kompetensi siswa yang ada dalam satu kelas. Lalu, ketika siswa tidak memiliki kompetensi yang di harapkan oleh guru maka siswa akan di taruh di kelas khusus atau sekolah khusus.
Saat ini, Pemerintah Australia mendukung penyandang disabilitas untuk mengakses tuntutan dunia kerja. “Pemerintah Australia akan selalu mendukung penyandang disabilitas untuk mengembangkan bakatnya dan membekalinya untuk menghadapi dunia kerja”. Pangkasnya.
Dalam kesempatan yang sama, Sri Sugiyanti menceritakan tentang pengalamannya ketika mengikuti Asian Para Games 2018. Ia mengatakan bahwa meskipun dirinya mempunyai keterbatasan penglihatan, atlet para cycling, tetapi ia menolak menyerah pada keadaan. Ia mengerahkan segala usahanya untuk menembus kegelapan di lintasan balap sepeda, hingga akhirnya membuahkan hasil yang manis.
Seperti yang kita ketahui bahwa, Sri Sugiyanti berhasil mengoleksi empat medali, tiga perak dan satu perunggu di Asian Para Games 2018 yang berlangsung pada 6-13 Oktober 2018 di Jakarta. Medali perunggu didapat di Time Trial Putri dengan catatan waktu 31 menit 11,080 detik.
Perjuangan Sri untuk meraih prestasi membanggakan di ajang Asian Para Games 2018 tidaklah mudah. Atlet asal Desa Sengonwetan, Grobogan, Jawa Tengah tersebut harus menghadapi tantangan terberat yaitu dirinya sendiri.
Sri Sugiyanti menyadari bahwa dirinya bukanlah tipe orang bermental baja. Sebelum pertandingan, kata dia, sempat merasa sangat tertekan, bahkan sampai menangis.
“Pengalaman bertanding saya masih sangat minim. Jadi stres banget. Sampai pas awal mau bertanding itu, saya sakit maag. Setelah diperiksa itu berkaitan dengan psikologis. Benar-benar sakit, sampai semua orang bingung,” tutupnya. (Wulida)
Share It On: