WISUDA merupakan acara yang ditunggu-tunggu para mahasiswa dan orangtua mahasiswa. Wisuda merupakan puncak acara yang menandai bahwa proses perkuliahan sudah berakhir dan mahasiswa berhak menyandang gelar sesuai dengan jenjang dan jenis program studinya. Sebenarnya, secara yuridis, tanda selesainya proses perkuliahan adalah saat mahasiswa yudisium di fakultas masing-masing. Meski demikian, acara wisuda merupakan momen yang sangat dinantikan oleh mahasiswa dan orangtua. Saat wisuda itulah, para mahasiswa bisa memakai toga disertai gordon sebagai simbol jenjang pendidikan telah dicapai.
Saat wisuda, setiap mahasiswa dapat menunjukan prestasi akademik yang telah dicapai. Masing-masing wisudawan dipanggil ke depan untuk menerima fotokopi ijazah dan bersalaman dengan dekan dan rektor sambil disebutkan predikat kelulusannya. Mereka yang memiliki prestasi dengan predikat cumlaude juga diberi tanda selempang bertuliskan cumlaude. Selempang tersebut menjadi promosi sekaligus penanda bahwa yang memakai selempang adalah mahasiswa berprestasi. Saat mereka dipanggil ke depan, semua hadirin akan mengetahui bahwa dia adalah mahasiswa berpredikat cumlaude.
Saat wisuda Juli 2016 kemarin memang tidak semua wisudawan berpredikat cumlaude diberi tanda selempang. Hanya para wisudawan yang paling tiggi IP-nya di setiap fakultas yang diberi selempang dengan tulisan Adi Wisudawan yang berarti wisudawan terbaik di fakultas. Sudah tentu, mereka yang menyandang gelar sebagai Adi Wisudawan adalah wisudawan yang berpredikat cumlaude. Oleh karena itu, sebelum pelaksanaan wisuda, ada protes dari mahasiswa, mengapa ada perubahan bahwa tidak semua wisudawan berpredikat cumlaude diberikan selempang. Protes tersebut dapat dimaklumi, karena mereka berharap dengan selempang yang dikenakan dapat menunjukkan sebagai mahasiswa berprestasi luar biasa.
Predikat cumlaude, seharusnya menggambarkan kualitas dan prestasi luar biasa, namun kalau dikaji apakah benar predikat cumlaude menggambarkan fakta bahwa mahasiswa telah memiliki prestasi luar biasa. Dari waktu ke waktu, mahasiswa Unesa yang memperoleh predikat cumlaude semakin banyak. Bahkan, ada salah satu program studi atau jurusan yang hampir 75% lulusannya berpredikat cumlaude. Ketika jumlah lulusan yang memperoleh predikat cumlaude lebih banyak dibandingkan dengan yang tidak berpredikat cumlaude, apakah ini menggambarkan prestasi yang luar biasa? Atau justru menimbulkan pertanyaan, betapa mudahnya memperoleh predikat cumlaude di Unesa? Jika yang muncul di masyarakat adalah pertanyaan kedua, maka yang terjadi justru ketidakpercayaan masyarakat. Selama ini, masyarakat beranggapan bahwa predikat cumlaude adalah predikat luar biasa, yang mudah untuk mendapatkannya. Oleh karena itu, tidak semua wisudawan bisa memperoleh predikat cumlaude. Hanya mereka yang benar-benar luar biasa yang memperoleh predikat cumlaude.
Dasarnya IPK
Predikat cumlaude didasarkan pada pencapaian Indek Prestasi Komulatif (IPK). Di Unesa, sesuai dengan buku pedoman yang berlaku, predikat cumlaude diberikan kepada mahasiswa yang memiliki IPK 3,51 ke atas, sehingga mahasiswa yang mencapai IPK 3,51 sampai 4 akan memperoleh predikat cumlaude. Rentang nilai 3,51 - 4,00 cukup lebar, sehingga peluang untuk memperoleh predikat cumlaude sangat besar. Di sebagian prodi atau jurusan tertentu untuk mencapai IPK 3,51 tidaklah mudah. Di sebagian prodi atau jurusan lain, justru sebaliknya, mahasiswanya dengan mudah mencapai IPK di atas 3,51. Bahkan hampir semua lulusan mencapai IPK di atas 3,51. Harus diakui bahwa nilai itu bersifat subjektif, apalagi untuk ilmu sosial, sehingga sangat bergantung pada apa yang dinilai dan bagaimana dosen menilai. Hal ini berbeda dengan ilmu alam yang lebih exactly sehingga penilaiannya lebih objektif, karena kebenaranya bisa diukur secara kuantitatif. Memang, wisudawan yang memperoleh predikat cumlaude di prodi-prodi Ilmu Alam, termasuk Matematika relatif sedikit dan bahkan sulit, dibandingkan dengan dari ilmu sosial maupun pendidikan.
Predikat cumlaude, di satu sisi memang membanggakan kalau itu benar-benar menggambarkan kompetensi yang dimiliki. Di sisi lain, predikat itu juga sebagai bentuk pertanggungjawaban atas kompetensi yang seharusnya dimiliki. Jika dua sisi itu dipadukan, maka predikat cumlaude seharusnya sesuai dengan kompetensi yang harus dimiliki. Orang yang memiliki predikat cumlaude juga harus mempertanggungjawabkan kompetensi yang harus dikuasai. Jika antara predikat dengan kompetensi tidak sama akan menimbulkan berbagai pertanyaan "miring". Dalam ilmu sosial ada hubungan antara status dan peran (status and role). Setiap status menuntut suatu peran yang harus diemban. Jika sesorang mampu menjalankan peran sesuai dengan status yang dimiliki, maka status tersebut bisa diapresiasi dengan baik. Misalnya, seorang berstatus sebagai mahasiswa dikonstruksi sebagai seorang yang intelek, yang memiliki kemampuan berpikir secara akademis (runtut, konsisten, objektif, dan logis). Jika dalam kenyataannya ia tidak mampu menunjukan kemampuan tersebut, maka orang akan mempertanyakan statusnya sebagai mahasiswa beneran atau bukan.
Begitu juga predikat cumlaude, bagi para wisudawan, predikat itu sebenarnya merupakan tanggung jawab moral, yang harus dibuktikan bahwa yang bersangkutan benar-benar memiliki kompetensi sangat bagus, sehingga pantas menyandang predikat cumlaude. Oleh karena itu, kita harus jujur menilai diri kita sendiri, apakah kita memang pantas menyandang predikat sebagai wisudawan dengan predikat cumlaude.
Kejujuran Bagian Etika Akademis
Kejujuran merupakan bagian dari etika akademis yang harus dipegang dan dijunjung tinggi oleh masyarakat ilmiah. Kejujuran para wisudawan dalam memperoleh nilai pada saat ujian juga merupakan hal yang tidak kalah penting. Apakah para mahasiswa ketika ujian melalukan dengan jujur, artinya tidak menyontek? Ketika membuat tugas apakah dikerjakan sendiri atau menyontek pekerjaan orang lain? Semua itu bisa dijawab oleh mahasiswa sendiri. Jika predikat cumlaude diperoleh dengan cara tidak jujur, maka pasti sulit dipertanggungjawabkan, dan justru akan menjadi beban moral.
Oleh karena itu, predikat bagi para wisudawan, bukan hal yang luar biasa, yang lebih penting adalah sejauhmana mereka dapat mempertanggungjawabkan predikatnya. Lebih baik memiliki kompetensi melebihi predikat yang disandang, daripada kompetensinya lebih rendah dari predikat yang disandang. Predikat yang diperoleh melalui proses yang tidak jujur akan membebani diri sendiri.
Kejujuran juga harus dilakukan oleh para dosen dalam menilai mahasiswa. Dalam ilmu Matematika dan ilmu Alam kejujuran dalam menilai relatif lebih mudah dilakukan, karena kebenaran dalam ilmu Matematika dan ilmu Alam bisa dibuktikan secara empirik. Selain itu, dalam ilmu alam hubungan antarvariabelnya bersifat kausal tunggal. Hal ini berbeda dengan ilmu sosial yang hubungan variabelnya seringkali sangat kompleks dan tidak tunggal, sehingga kebenarannya hampir tidak pernah tunggal dan mutlak. Oleh karena itu, penilaian dalam ilmu sosial sangat relatif, bergantung pada kejujuran dosennya. Apakah dalam menilai mahasiswa dosen mendasarkan kepada ketercapaian indikator yang telah ditentukan atau menurut "selera".
Kejujuran para dosen dalam menilai mahasiswa juga akan membantu para wisudawan dalam mengemban statusnya sebagai lulusan terbaik atau lulus dengan predikat cumlaude. Jika penilaian terhadap mahasiswa tidak dilakukan dengan jujur, maka akan membebani mahasiswa dengan status yang mungkin berat untuk mereka emban. Marilah kita tegakkan dan junjung tinggi objektivitas dan kejujuran dalam memberi nilai. Kejujuran terhadap kemampuan diri sendiri akan lebih baik daripada sekadar predikat.
Bagi para wisudawan, masih belum terlambat untuk jujur kepada diri sendiri, karena masih ada hari esok yang akan dilalui. Kejujuran kepada diri sendiri merupakan modal sosial (social capital) yang akan mengantarkan para wisudawan ke masa depan yang lebih baik. Mari melakukan introspeksi, apa yang kita miliki sebagai keunggulan, dan apa yang menjadi kekurangan kita. Dengan mengakui secara jujur atas apa yang dimiliki, kita bisa menawarkan kepada orang lain sesuatu yang betul-betul dapat dibertanggungjawabkan, sehingga tidak membuat orang lain kecewa. Dengan jujur mengakui kekurangan dan kelemahan, kita mau belajar dari orang lain dan terus untuk memperbaiki diri, sehingga terus berkembang menjadi lebih baik. Mari bangun dan tumbuhkembangkan budaya kejujuran mulai dari diri sendiri, dan mulai dari sekarang. Bila setiap orang telah terbiasa untuk jujur, karakter bangsa akan terbangun, sebab kejujuran merupakan esensi dari karakter. (arm)
Share It On: