www.unesa.ac.id
Unesa.ac.id, Surabaya - Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Negeri Surabaya (BEM U) bekerjasama dengan Pusat Pembinaan Ideologi LPPM Universitas Negeri Surabaya mengadakan seminar online bertema Penyebaran dan Gerakan Radikalisme Era Teknologi Informasi pada Minggu, 11 Oktober 2020.
Webinar tersebut menghadirkan narasumber Ahmad Bashri, M. Sidari Pusat Pembinaan Ideologi LPPM Unesa, Syahrul Munif, S.H, mantan pejuang ISIS, dan Dr. Zuhairi Misrawi, penulis sekaligus Pengamat Isu Timur Tengah.
Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Alumni, Dr Agus Hariyanto, M.Kes saat membuka acara menyampaikan bahwa Unesa sebagai kampus pendidikan memunyai tanggung jawab menanamkan dan menguatkan nilai-nilai Pancasila dan ke-Bhineka-an serta agama yang toleran baik di dalam maupun di luar kampus. Hal ini, kata Agus, selarasdengan slogan Unesa Growing with Character.
Ahmad Bashri, M. Si, dari Pusat Pembinaan Ideologi Unesa menyebutkan bahwa paham radikalisme memiliki banyak prespektif berbeda. Namun akan diberikan pembatasan sederhana yaitu penolakan terhadap Pancasila, UUD 1945, NKRI dan ke-Bhineka-an. Paham radikalisme, terang Bashri bukan persoalan baru yang hanya dijumpai saat ini. Namun, telah mengalami disrupsi, yang mana sebuah inovasi menggantikan sistem lama dengan sistem baru. Misalnya, smartphone menggeser wartel dan warnet. Begitupun termasuk penyebaran paham radikalisme, yang kini dilakukan melalui media sosial.
Menurut Bashri, tahapan ancaman radikalisme diawali dari seseorang yang gagal paham atau salah paham karena ketidak tahuan atau kurang memahami ilmu secara mendalam. Akibatnya, mereka menjadi seseorang intoleran yang akan berpotensi terpapar radikalisme, kemudian akan memicu munculnya terorisme.
“Peran digital inilah yang menjadi ancaman serius, yang mempermudah perekrutan anggota kedalam kelompok-kelompok radikal tanpa adanya tatap muka secara langsung,” terang Ahmad.
Sementara itu, Syahrul Munif, S.H, mantan pejuang ISIS, menyampaikan sasaran yang paling mudah terpapar paham radikalisme yakni anak-anak muda atau generasi milenial. Hal ini disebabkan, anak muda terlalu idealis dan terlalu pragmatis untuk menujukkan eksistensi terhadap suatu perjuangan, meskipun tidak memiliki bekal ilmu yang cukup.
Hal ini juga didukung dengan adanya kemajuan digital, dimana banyak situs-situs atau aplikasi yang dengan mudah dan murah dapat diakses generasi milenial, sekaligus menjadi media yang efektif untuk mempropagandakan paham radikalisme dengan iming-iming mati syahid dan jaminan surga oleh kelompok radikal yang pergerakannya sangat massif yaitu ISIS.
“Tidak hanya mengganggu kestabilan masyarakat tetapi juga mencoreng nama Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Di samping itu, radikalisme bukanlah isu yang diciptakan pemerintah. Faktanya, radikalisme benar-benar nyata dan dampaknya sangat berbahaya,” tutur Syahrul.
Adapun Dr. Zuhairi Misrawi, pengamat isu Timur Tengah memaparkan bahwa dampak berbahaya paham radikalisme yaitu menguatkan gagasan khilafah Islam/negara Islam, dan sebaliknya melemahkan ideologi Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara serta menghidupkan kembali kebencian dan kekerasan atas nama agama yang dapat memicu timbulnya terorisme.
Untuk mencegah dan melawan paham radikalisme, kata Zuhairi, diperlukan peran bersama. Tidak hanya suatu lembaga atau sebagian elemen masyarakat saja, melainkan seluruh elemen masyarakat. Salah satunya mempercayai kebenaran Pancasila sebagai ideology berbangsa dan bernegara, tidak sebagai agama atau aliran kepercayaan, sehingga tidak mudahd infiltrasi oleh paham-paham radikal, termasuk ISIS.
“Saat ini, kita hidup di zaman fitnah. Jadi, harus berhati-hati menerima berita-berita yang tersebar di internet. Berpikirlah kritis dan rasional serta bijak dalam bermedia sosial,” pungkasnya. (meds/sir)
Share It On: