Djodjok Soepardjo tampak serius mengamati koleksi di perpustakaannya. Perpustakaan yang terletak di lantai dua salah satu rumah di Lotus Regency, kawasan Ketintang itu tidak terlalu luas. Tetapi, ada lebih dari seribu buku di tempat tersebut. Mulai buku komik, kumpulan artikel, novel, hingga buku-buku ilmiah yang berhubungan dengan Jepang. Sebagian besar buku berhuruf kanji.
Dia mengambil salah satu buku ensiklopedia, lalu membaca-bacanya sebentar. Kegiatan itu selalu dilakukannya. Setidaknya, empat kali sepekan, lelaki yang bermukim di Teluk Sampit, kawasan Perak, tersebut selalu datang ke Lotus Regency untuk meninjau perpustakaan. Perpustakaan itu berada dalam satu bangunan dengan kafe di lantai 1.
"Ada lebih banyak di rumah saya. Sekitar satu kontainer, " kata Djodjok, merujuk koleksi buku yang dimiliki seraya mengembalikan buku ensiklopedia yang baru diambilnya. Dia memang penyuka japanese studies. Pria yang merupakan salah seorang guru besar bahasa Jepang Unesa itu mengoleksi buku sejak berkuliah di IKIP Bandung pada 1977. Untuk diketahui, jumlah guru besar studi Jepang di Indonesia tergolong jarang. Bahkan, menurut pengamatan Djodjok, jumlahnya hanya dua. Di Jakarta dan Surabaya. "Setahu saya ya cuma dua. Saya sama Profesor Ketut Surajaya di UI (Universitas Indonesia), " urai lelaki kelahiran 16 September 1958 itu.
Minatnya yang besar untuk mendalami bahasa Jepang bermula dari perbincangan dengan salah seorang sepupunya. Saudaranya tersebut adalah seorang pekerja di sebuah kapal yang kerap ke luar negeri. Djodjok sering berbincang dan meminta wawasan baru darinya. Suatu saat dia bertanya kepada sepupunya itu, bahasa asing apa yang mesti dan pantas untuk dipelajari. Saudaranya mengatakan, bahasa Jepang.
"Sejak saat itu, saya belajar bahasa Jepang dari nol. Kalau bahasa Inggris kan di SMA sudah ada. Kalau Jepang, benar-benar mulai dari awal, " tegas pria asal Tasikmalaya tersebut. Saat kuliah, dia tinggal di sebuah rumah salah seorang pengajarnya. Di rumah itu, terdapat sejumlah mahasiswa lain yang juga mengambil studi bahasa Jepang. Hal tersebut membuat pelajaran bisa masuk lebih mudah. Sehari-hari mereka menggunakan bahasa Jepang. Membaca buku bahasa Jepang baik tentang sastra, bahasa, maupun sejarah.
"Saya selalu suka budaya Jepang. Ada makna-makna yang dalam dari karakter mereka. Saya mencintai itu. Makanya, saya terus belajar, " tegas pria yang mengambil program magister dan doktor di Nagoya University, Jepang tersebut. Karakter dan budaya Jepang yang kuat itu ingin ditularkannya kepada mahasiswa baik yang berada di jenjang S-1, S-2, maupun S-3. Dia mengajarkan pendidikan karakter mengenai kedisiplinan, tanggung jawab, dan rela berkorban terutama untuk negara. Jepang, kata dia, adalah negara yang memiliki semangat kuat. Karena itu, ketika dilanda gempuran hebat pada 1945, Negeri Sakura bisa cepat bangkit dan menjadi salah satu macan dunia. Bahkan untuk mahasiswa S-1, dia menyiapkan waktu dua hari untuk pelatihan tentang pendidikan karakter. Salah satu poin yang diselipkan adalah karakter luhur bangsa Jepang. Tentang harmonisasi dalam hidup, kasih sayang, dan ramah tamah.
Dia mengakui Jepang pernah menjajah bangsa lain dengan kejam. Itu memang sejarah kelam yang tidak bakal bisa dihapuskan. "Mereka menjajah itu kan atas perintah atasan. Itu bentuk kesetiaan, " jelas Djodjok. Namun, yang terjadi sekarang juga mesti dilihat. Jepang berkiprah di berbagai bidang sosial dan pendidikan. Misalnya, memberikan beasiswa dan bantuan pendidikan. Hal lain yang selalu dia katakan kepada para mahasiswanya adalah kegigihan bangsa Jepang untuk belajar. Mereka datang ke Eropa, lantas pulang dengan ilmu baru. Ilmu itu dipoles dengan nilai yang sarat unsur Jepang. Dengan begitu, produk dari Jepang selalu berkarakter, lain daripada yang lain. Tidak pernah ketinggalan zaman, tetapi tetap tidak dicap sebagai pengekor.
Di sisi lain, Djodjok mengapresiasi banyaknya orang yang tertarik dengan studi Jepang. "Dulu itu kelas bahasa Jepang di kampus jarang peminat. Sekarang di Unesa saja, kami sampai nolak-nolak ratusan pendaftar, " jelas dia. Salah satu penyebab membeludaknya pencinta bahasa Jepang adalah kemampuan negara itu menyebarkan pengaruhnya, baik melalui animasi, komik, musik, maupun budaya. "Budaya minum teh, melipat kertas, dan bela diri. Mungkin tampaknya sepele, tetapi itulah yang unik dan membuat orang ingin tahu, " ujar Djodjok.
Dia mengatakan, saat ini sudah banyak mahasiswa S-2 yang berniat untuk terus belajar bahasa Jepang hingga S-3. Banyak juga yang sudah menyandang gelar doktor ingin meraih gelar profesor. Djodjok kerap menjadi dosen tamu di berbagai perguruan tinggi yang memiliki program studi Jepang. "Tetapi, saya selalu menyarankan, kalau bisa mereka yang ingin studi terus itu mencari jalan untuk bisa kuliah S-3 di Jepang. Supaya tidak buta dengan kondisi akademik Jepang, " ungkap pria yang meraih gelar profesor sekitar 2007 tersebut. "Namun, saya yakin, akan lebih banyak orang Indonesia yang bisa menjadi profesor studi Jepang, " kata Djodjok.
Meski demikian, dia juga mengingatkan, standar untuk menjadi profesor saat ini lebih berat. Seseorang mesti melakukan penelitian yang diakui dunia internasional. Itulah perlunya mengetahui peta akademik internasional. Hal tersebut lebih afdal bila ditelaah langsung ke negeri asalnya, Jepang. Internet memang membantu dalam mempelajari Jepang secara lebih mendalam. Namun, dengan terjun dan berkuliah langsung ke Jepang, seseorang menjadi tahu ke mana saja karya-karyanya bisa tersalurkan. Sebab, seorang akademisi memang mesti menelurkan karya ilmiah. Karya ilmiah itu disalurkan ke jurnal-jurnal tertentu. Dari publikasi di jurnal tersebut, terdapat poin-poin yang bisa dikumpulkan untuk meraih gelar guru besar.
(Sumber: Jawa Pos, 17 September 2011)
Share It On: