Aku sedang santai membaca ketika ada sms masuk di HP-ku tadi malam. "Hello Bu Pratiwi, SBS mencoba kontak Simon. " Semenit kemudian aku dan Pak Simon terlibat obrolan santai. Radio SBS Australia ingin mewawancarai aku via telpon. "Besok Ibu Sri selaku penyiar akan bincang-bincang dengan Bu Pratiwi seputar sastra TKI dan kaitannya dengan Sumpah Pemuda. " Semprul, kenapa aku justru tidak perhatikan kalendar ya. "Oh ya pak, dengan senang hati, saya tunggu teleponnya, " begitu ujarku.
Ingatanku melayang ke minggu-minggu pertama aku datang di Melbourne. Saat-saat excitement stage di tempat dengan budaya yang baru. Aku mulai beradaptasi dengan cuaca, suasana kehidupan kampus, dan mulai menceburkan diri ke daftar bacaan yang panjang. Di milis Indomelb yang aku ikuti, ada email yang menggelitik di antara puluhan posting yang bervariasi tingkat kepentingannya. "Call for Presentations: Indonesia Forum Postgraduate Roundtable. " Ikut ah! Rasa ingin tahuku tentang penelitian teman-teman di sini dan terlebih keinginan untuk mencari teman baru memberikan dorongan instan untuk langsung sign up. To attend only. Begitu pesanku saat mendaftar. Baru juga mulai studi kok sudah mau nekad presentasi. Begitu yang ada di benakku saat itu. Tapi entah kenapa, instinct untuk sekadar sharing dan memperoleh masukan menggodaku untuk akhirnya mengirimkan abstract/ wish to present, begitu tulisku di email berikutnya. Dasar bonek mania.
Keputusan sesaat kadangkala membuka peluang yang tak pernah terpikirkan. Begitu pesan yang kubaca lewat buku "Blink: The Power of Thinking Without Thinking ", tulisan Malcolm Gladwell. Buku ini aku temukan di rak Salvos, second-hand store dekat rumah. Kubeli karena judulnya eye-catching. Tanpa berpikir panjang juga, karena harganya cuma AU$ 2.99. Juga karena aku memang suka koleksi buku psikologi populer seperti ini. Namun setelah kubaca, dengan santai juga, banyak kebenaran yang memang terbukti. Keputusan yang tampaknya simpel dan diambil tanpa pikir panjang, ternyata membawa kita ke hal-hal yang tak terduga.
Roundtable itu diikuti tidak sampai 40 mahasiswa Indonesia di sekitar Melbourne dan beberapa akademisi, native Australians yang punya concern dengan Indonesian Studies. Dengan gaya sok PD aku menyampaikan intisari proposal penelitianku tentang Redefining Femininity: Negotiation of Space in Indonesian Migrant Literature. Fokusku pada sastra Buruh Migran Indonesia (BMI) di Hongkong, Taiwan, dan Singapura menjadi andalanku untuk menarik perhatian audience. Aku yakin masih banyak orang yang belum tahu bahwa sebenarnya karya-karya sastra BMI sudah mulai mendapat apresiasi, bahkan sampai sekelas festival internasional di Ubud Writers and Readers Festival 2011. Adakah sebuah kebetulan bahwa pada saat roundtable kami berlangsung tanggal 8 Oktober 2011 di The University of Melbourne, pada hari yang sama, 4 orang BMI juga sedang berbicara di panel "Under the Rug " di Ubud?
One little thing leads to a bigger path. Seminggu kemudian, aku terkejut memperoleh email dari radio SBS Australia. Mereka tertarik untuk mewawancaraiku tentang penelitianku itu. "Wow, how did you find out? " begitu tanyaku ketika akhirnya Pak Simon dan aku bertukar sms. "I was at the seminar last Saturday. You were very impressive in the seminar. " Maaf pak, yang impressive itu sebenarnya para TKW yang juga penulis itu. Tapi aku lupa apakah ini sempat kuucapkan atau hanya kubatin.
Begitulah, pada pukul 14.30 waktu Melbourne, saat hari Sumpah Pemuda ini, aku mulai berbincang-bincang on air dengan Bu Sri tentang apa yang sedang aku tulis dalam penelitianku, tentang bagaimana makna cinta tanah air dalam kerangka sastra BMI. Tapi waktu 10 menit menjadi sangat kurang untuk bicara panjang lebar tentang bagaimana nasionalisme tidak hanya urusan 'cintailah produk-produk Indonesia. ' Aku hanya sempat menyampaikan intinya bahwa teman-teman BMI mencintai Indonesia dengan cara menuliskan segala uneg-uneg mereka di kumpulan puisi, cerpen, dan novel. Aku bahkan tidak sempat minta waktu membacakan puisi Mega Vristian yang berjudul "Menjelang Peringatan Kartini. " Isinya pas banget untuk Sumpah Pemuda.
Ketika satu cerita berakhir, kalimat baru sudah akan menunggu. Pak Simon sms lagi begitu acara on air berakhir. "Jempol bu, nanti kita sambung lagi. Kita akan buat agenda untuk bahas sastra migran. Kita mungkin juga bisa upayakan untuk interaksi 3 jalur, dengan salah satu penulis bisa ikut dalam perbincangan. "
Ya pak Simon, saya tunggu kabar dari Anda dan mohon jempolnya disimpan untuk teman-teman BMI saja. Mereka yang lebih berhak mendapatkan apresiasi dari kita.
Brunswick, 28 Oktober 2011
Pratiwi Retnaningdyah
Share It On: