Mohamad Nasir, guru besar Universitas Diponegoro (Undip) sekaligus Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Kabinet Kerja (2014-2019) menekankan peran perguruan tinggi dan pemerintah dalam memanfaatkan bonus demografi sebagai salah satu strategi menuju Indonesia Emas 2045.
Unesa.ac.id, SURABAYA—Universitas Negeri Surabaya (UNESA) menggelar Focus Group Discussion (FGD) dengan tema 'Peran Perguruan Tinggi dan Pemerintahan Baru Menuju Indonesia Emas 2045' pada Jumat, 8 November 2024 di Whiz Luxe Hotel Surabaya.
Rektor UNESA, Nurhasan atau yang akrab disapa Cak Hasan menuturkan bahwa kegiatan yang termasuk dalam rangkaian Dies Natalis ke-60 UNESA ini diselenggarakan guna membahas berbagai tantangan dan peluang pendidikan tinggi dalam menyiapkan SDM unggul menuju Indonesia Emas 2045.
“Pembangunan SDM perlu dirumuskan strateginya, mengingat dinamika persaingan ke depan yang menantang. Visi pembangunan SDM melalui pendidikan perlu diperkuat dan diorkestrasi dengan baik. Harapannya, ada strategi dan rekomendasi yang kita hasilkan dari diskusi ini,” ucapnya.
Pada sesi diskusi, Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Kabinet Kerja (2014-2019), Mohamad Nasir menyampaikan bahwa Indonesia harus menyiapkan generasi unggul atau Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas untuk mencapai status negara maju dan menciptakan kesejahteraan yang merata.
Ia menekankan pentingnya memanfaatkan bonus demografi yang akan segera berlalu, sebab perubahan struktur penduduk berlangsung cepat. Selama 33 tahun pembangunan, Indonesia belum berhasil mencapai kategori negara maju, dengan PDB per kapita pada 2023 berada di angka US$4.919,7.
"Potensi pertumbuhan ekonomi lima persen mungkin menjadi pertumbuhan normal yang stagnan tanpa inovasi," ujarnya.
Lebih lanjut ia menyebutkan jika Indonesia akan memiliki tantangan besar dalam menghadapi Industri 4.0 yang mengubah struktur global value chain atau rantai nilai, dan menuntut peningkatan teknologi dan inovasi.
Abdul Haris, Dirjen Diktiristek menyampaikan perlunya memperkuat signifikansi dan relevansi perguruan tinggi dengan tuntutan dunia usaha dan industri, yang selaras dengan visi pembangunan nasional.
Jika Indonesia gagal mendidik generasi yang berdaya saing tinggi, akan muncul risiko seperti menua sebelum kaya, terjebak dalam middle income trap, tertinggal dalam rantai nilai global, dan menghadapi pertumbuhan ekonomi yang rendah. Hal ini akan menghalangi Indonesia mencapai visi negara maju yang sejahtera.
Selaras dengan penyampaian tersebut, Abdul Haris, Dirjen Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi menyoroti bahwa perguruan tinggi berperan penting menuju Indonesia Emas 2045, terutama dalam peningkatan SDM berkualitas.
Hal ini sesuai amanat konstitusi, bahwa pendidikan tinggi harus berkontribusi signifikan pada pembangunan nasional, mengingat setiap peningkatan 1% populasi berpendidikan tinggi dapat menambah 0,37% pertumbuhan ekonomi dan menurunkan kemiskinan sebesar 2%.
"Namun, pendidikan tinggi di Indonesia masih menghadapi tantangan ketimpangan akses, kualitas, dan relevansi dengan dunia kerja," jelas guru besar Universitas Indonesia (UI) itu.
Program unggulan Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) diharapkan memperkuat relevansi pendidikan dengan kebutuhan pasar, sedangkan pendanaan penelitian diarahkan pada peningkatan daya saing lulusan dan perbaikan kualitas universitas.
FGD ini dihadiri pakar-pakar dari unsur kementerian dan berbagai berguruan tinggi, serta jajaran pimpinan universitas dan fakultas selingkung UNESA.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Kemendikbud RI periode 2019-2021, Ainun Na'im menyampaikan bahwa anggaran pendidikan sudah selayaknya digunakan sebagai investasi untuk meningkatkan Human Capital Index (HCI) dan GDP per kapita, yang dapat mendorong inovasi serta penelitian berkualitas.
Adapun tren dalam pendidikan tinggi global, tambahnya, seperti pembelajaran digital, kredensial mikro, dan pemanfaatan kecerdasan buatan, merupakan arah yang harus diadaptasi oleh Indonesia.
Kemajuan teknologi, kebutuhan pasar tenaga kerja, serta tuntutan keberlanjutan dan keberagaman turut menjadi faktor yang mempengaruhi pendidikan tinggi. "Oleh karena itu, kemitraan antara kampus dan industri diharapkan terus ditingkatkan guna memastikan lulusan siap menghadapi tantangan masa depan," ujarnya.
Pada sisi lain, Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB), Arif Satria mengungkapkan kekhawatiran terkait ketahanan pangan Indonesia. Menurutnya, Indonesia masih tertinggal dari beberapa negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, dan Vietnam dalam hal indeks ketahanan pangan.
"Cukup memprihatinkan ketika mengetahui bahwa dalam Food Sustainability Index, Indonesia pernah kalah dari Ethiopia," jelasnya.
Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia masih memiliki tantangan besar dalam mewujudkan kemandirian pangan yang berkelanjutan, terutama dalam konteks perubahan iklim yang terus memberikan dampak negatif pada produksi pangan. (*)
***
Reporter: Medina Azzahra (FBS), dan Saputra (FBS)
Editor: @zam*
Foto: Tim HUMAS UNESA
Share It On: