www.unesa.ac.id
Unesa.ac.id, SURABAYA-Kasus stunting atau persoalan gagal tumbuh pada anak menjadi persoalan serius di Indonesia. Kendati angka prevalensi stunting mengalami penurunan dari 30,8 persen pada 2018 menjadi 24,4 persen pada 2021. Namun angka tersebut masih terbilang serius dan berada di atas standar WHO, 20 persen.
Menyitat data survei Status Gizi Balita Indonesia (SGBI) 2021, prevalensi stunting masih di angka 24,4 persen atau sebanyak 5 juta lebih balita mengalami stunting dari sekitar 23 juta jumlah anak di Indonesia. “Ini menjadi permasalahan serius yang tentunya perlu menjadi prioritas seluruh pihak, pemerintah pusat hingga daerah dan stakeholder, termasuk perguruan tinggi,” ujar Ketua Program Studi (Kaprodi) Gizi, Universitas Negeri Surabaya (UNESA), Dra. Veni Indrawati, M.Kes.,
Veni Indrawati menambahkan, penyebab utama stunting yaitu kekurangan gizi kronis pada seribu hari pertama kehidupan anak, yakni sejak janin hingga anak berusia sekitar 24 bulan (golden age). Kemudian masalah kesehatan ibu dan pola asuh yang kurang baik. Pengetahuan yang minim dari sang ibu akan pentingnya asupan nutrisi sejak bayi juga menjadi faktor penting.
Selain itu, faktor lingkungan berupa sanitasi yang buruk dapat mengakibatkan diare dan infeksi cacing usus atau cacingan yang berdampak pada kondisi nutrisi sang anak. “Faktor-faktor lainnya juga berkaitan dengan pelayanan kesehatan, kurangnya asupan nutrisi, kebersihan air, terlewatnya imunisasi, hingga tidak terpenuhinya kebutuhan ASI eksklusif pada anak,” beber Veni.
Menurut Veni, kasus stunting, jika tidak benar-benar ditangani secara cepat dan tepat, bakal menjadi rantai persoalan yang berkepanjangan bahkan berisiko menurunkan kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia ke depan.
www.unesa.ac.id
Kolaborasi; Pencegahan dan Penanganan
Stunting dapat dicegah mulai dari pemeriksaan rutin kehamilan, pemberian nutrisi yang cukup untuk ibu dan bayi, deteksi dini penyakit, melahirkan di fasilitas kesehatan yang memadai, Inisiasi Menyusui Dini (IMD) dan pemberian ASI eksklusif, pemberian makanan tambahan atau Makanan Pendamping ASI (MPASI), pemberian imunisasi lengkap, serta pemantauan pertumbuhan balita.
Dalam mengatasi persoalan tersebut, lagi-lagi pemerintah tidak bisa jalan sendiri. Seluruh pihak terkait atau stakeholder harus mengambil bagian. Pusat hingga daerah semua bahu membahu. Ada yang melakukan penanganan dan ada yang menempuh langkah pencegahan. Sosialisasi dan edukasi harus masif melibatkan seluruh elemen hingga ke desa-desa dan pelosok.
“Saya percaya, penanganan dan pencegahan yang serius, seimbang dan komprehensif semua elemen ini bisa berhasil baik beberapa tahun ke depan. Ini tugas bersama tentunya, termasuk perguruan tinggi,” kata perempuan kelahiran Jombang itu.
Veni mengapresiasi langkah pemerintah sejak 2018 serius menurunkan angka prevalensi stunting sehingga terjadi penurunan sekitar 6,4 persen. Persoalan angka tersebut masih di atas standar dunia, tentu ini harus menjadi pekerjaan rumah bagi semua pihak sehingga stunting bisa benar-benar menyentuh 14 persen pada 2024 sesuai target Presiden Joko Widodo.
“UNESA pun turun tangan untuk menekan angka stunting di daerah-daerah. Ada sejumlah program yang dijalankan yang melibatkan dosen dan mahasiswa. Terbaru misalnya mahasiswa KKN-T punya program khusus untuk menangani stunting di sejumlah kabupaten di Jawa Timur. Ke depan, upaya ini kami tingkatkan lagi. Prodi Gizi juga berkolaborasi dengan pemerintah daerah dan desa setempat yang nantinya direalisasikan lewat berbagai program lanjutan,” ungkapnya.
Peran dan Ketahanan Keluarga
Permasalahan stunting, menurut Yohana Wuri Satwika, S.Psi., M.Psi., Dosen Psikologi UNESA, selain bisa diselesaikan dengan intervensi gizi ibu dan anak, perbaikan aksesibilitas air bersih dan sebagainya. Juga, perlu memberikan penguatan pada ketahanan keluarga, termasuk bagi ibu-ibu muda baru menikah.
Ketahanan keluarga sangat penting karena hal tersebut sangat berpengaruh terhadap ketahanan masing-masing individu yang di dalamnya mencakup ayah, ibu, dan anak yang membentuk ‘atmosfer’ kehidupan keluarga. “Interaksi dalam masing-masing individu dalam keluarga itu sangat mempengaruhi, misalnya, terutama untuk ketahanan individu anak sangat dipengaruhi oleh ketahanan keluarga atau ketahanan kedua orang tuanya,” jelasnya.
Keluarga yang rapuh akan sangat berdampak pada perkembangan anak di dalam masa perkembangan dan pertumbuhannya. “Dalam pertumbuhan fisik, ketika ada yang tidak pas dalam keluarga, nanti fisik anak dapat terganggu, misalnya dalam segi daya tahan tubuh yang membuat anak lebih sering sakit, atau dia tumbuh tidak sesuai dengan usianya dalam segi berat badan yang lebih sedikit atau stunting. Itu tergantung orang tuanya dan kondisi keluarga,” papar Yohana.
Lebih jauh, ketahanan keluarga yang rapuh bisa mempengaruhi anak yang secara kepribadian. Anak berpotensi bersikap tertutup, mengalami kesulitan dalam berinteraksi sosial dengan lingkungan yang baru, atau bahkan dapat menjadi individu yang rapuh sebagai akibat dari keluarga yang rapuh.
Pesan untuk Calon dan Orang Tua ‘Muda’
Bagi ibu-ibu muda perlu memperhatikan dan mengkondisikan lingkungan yang bersih, asupan nutrisi yang baik serta suasana keluarga yang hangat dan tentram-sejahtera untuk keberlangsungan pertumbuhan serta perkembangan anak. Kemudian, bagi yang mau menikah. Jangan asal menikah. Matangkan dan dewasakan diri tidak hanya fisik, tetapi juga secara emosional dan religius.
“Keluarga-keluarga yang kuat dimulai dari perempuan dan laki-laki yang dewasa semua aspek, termasuk aspek finansial. Karena kalau tidak direncanakan dan disiapkan matang, surga yang diharapkan bisa berantakan. Kalau kita saja mungkin tidak masalah, tetapi kasiah anak-anak,” kata perempuan asal Bandung itu.
Sebelum memutuskan untuk menikah, lanjutnya, kedua pihak harus siap sehingga dapat menjadi pasangan suami istri yang dapat saling menguatkan, memahami, dan melengkapi satu sama lain dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing. “Perkara stunting, keluarga, ibu-ibu muda atau calon orang tua perlu diberikan edukasi yang kuat. Jangan sampai mereka menikah malah menjadi keluarga yang berpotensi melahirkan stunting baru,” tukasnya.
Pada peringatan Hari Keluarga Nasional (Harganas), 29 Juni 2022 dengan tema “Ayo Cegah Stunting agar Keluarga Bebas Stunting” ini sepatutnya menjadi momentum untuk meningkatkan kualitas ketahanan keluarga sebagai salah satu pondasi utama dalam mewujudkan ketahanan nasional. Ketahanan keluarga dalam perspektif ketahanan nasional merujuk pada suatu kemampuan dalam mengelola sumber daya serta masalah yang ada pada suatu keluarga untuk terpenuhinya kebutuhan seluruh anggota keluarga.
Dia mengajak seluruh pihak untuk benar-benar menyadari setiap keputusan dalam keluarga yang tentunya bisa berdampak pada pertumbuhan dan perkembangan generasi bangsa. Selain itu, pada momentum Harganas tahun ini perlu menjadi refleksi sekaligus menguatkan lagi upaya dalam meningkatkan ketahanan keluarga dan memerangi stunting di Indonesia. [HUMAS UNESA]
Penulis: Azminatul Alfay Rohmah
Editor: @zam Alasiah*
Foto: Gambar oleh Pexels oleh Pixabay
Share It On: