Seingat saya, kali pertama mengenal Einsten, ilmuwan Fisika terkenal itu adalah saat saya duduk di bangku SD, saat melihat tokoh kartun Daffy Duck memerankan Einsten pada kartun Looney Toons. Saat itu saya berpikir mengapa kepala orang pintar itu harus botak dan besar. Kemudian saat SMP, kali pertama saya tahu bahwa E=mc2 merupakan rumus terkenal seantero jagat yang diperkenalkan oleh Einsten. Lalu pada saat SMA, saya mulai membaca beberapa buku di bidang fisika terutama mengenai sejarah perkembangan fisika dari zaman kuno hingga fisika modern. Seringkali nama Einsten disebut sebagai fisikawan berpengaruh di dunia. Saat itu saya membaca kalau beliau tinggal di sebuah rumah di Bern, Swiss tempat berbagai ide hebat Einsten muncul hasil dari diskusi dengan istrinya. Terpikir oleh saya, Andai saya bisa mengunjungi rumah Einsten itu. Siapa sangka angan-angan itu ternyata bisa jadi kenyataan. Salah satu ungkapan terkenal Einsten itu "Tuhan tidak main dadu". Itulah yang saya rasakan selama perjalanan hidup saya sampai saat ini. Bersekolah di SMAN 2 Surabaya membuat saya dapat bertemu dengan sosok guru matematika, Pak Syamsul, guru paling hebat yang pernah saya kenal dan juga memberi kesempatan saya mengenal Einstein ini lebih jauh dari buku-buku yang ada di perpustakaannya. Dari buku-buku yang ada, saya mengenal Einsten sebagai ilmuwan yang agamis. Dia tetap percaya bahwa Tuhan berkuasa di segala fenomena fisika baik yang makro maupun mikro. Setelah lulus SMA, ketika memutuskan melanjutkan studi, saya memilih meneruskan studi di Unesa untuk memperdalam Matematika di jurusan Pendidikan Matematika (calon guru karena sangat terinspirasi oleh Pak Syamsul). Walaupun saya suka fisika, saya benci dengan kegiatan eksperimen. Itulah sebabnya saya memilih Matematika. Sejenak saya melupakan apa yang pernah jadi impian saya. Yang saya lakukan saat S-1 adalah fokus kuliah dan lulus hingga akhirnya saya mengajar di dua sekolah RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional) di Surabaya walaupun hanya sebagai guru tidak tetap. Pengalaman mengajar di kedua sekolah itu membuat saya berpikir, mengapa anak-anak SMP dan SMA Indonesia sekarang sangat susah kalau diajak belajar. Mereka lebih suka bermain laptop, blackberry, Iphone saat pelajaran. Siapa yang salah kalau begitu? Belum sempat menemukan jawabannya, saat itu datang tawaran melanjutkan S-2 di Unesa. International Master Program on Mathematic Education (IMPOME) adalah program exchange master kerjasama Unesa, Unsri, dan Uthrect University Belanda di bidang Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI). Kegalauan muncul saat saya timbang apakah akan melanjutkan kuliah atau tetap fokus kerja karena tanggung jawab sebagai anak pertama. Saya putuskan coba-coba memasukkan lamaran. Siapa tahu diterima karena juga tidak ada ruginya kalau ditolak. Alhamdulillah setelah melalui tes administrasi dan wawancara, saya dinyatakan diterima di fase 1. Penanggung jawab acara langsung memberi informasi bahwa peserta yang lulus fase 1 harus berkumpul di Yogyakarta untuk mengikuti pelatihan intensif bahasa Inggris selama empat bulan. Berita mendadak itu sangat mengagetkan dan mau tak mau saya harus berhenti dari pekerjaan. Saat itu, terpikir oleh saya ungkapan Einsten, Tuhan Tidak Bermain Dadu, jika memang saya ditakdirkan ini yang terbaik maka pasti Tuhan ada rencana indah bagi saya nanti. Ketika tahu saya bisa mengunjungi rumah Albert Einsten di Swiss melalui Belanda, makin semangatlah saya. Tuhan memberi jawaban, nilai IELTS saya yang merupakan syarat utama bisa kuliah di Eropa memenuhi target yang diminta pihak kampus. Rasanya senang sekali, Eropa sudah di depan mata, Einsten I am Coming. Kemudian saya pun harus melalui fase 2, yaitu 6 bulan kuliah semester 1 di Unesa. Alhamdulillah bisa dilalui dengan baik. Namun tiba-tiba ada berita kalau ternyata saya terdepak dari beasiswa NESO. Mereka menurunkan kuota yang sebelumnya berjumlah 15 menjadi 10. Entah apa alasannya, mengapa harus saya yang terdepak. Saat itu saya merasa Tuhan mempermainkan saya. Putus asa, galau, uring-uringan itulah yang mungkin dirasakan teman-teman saya saat itu. Tuhan tidak bermain dadu, tak disangka, rencana Tuhan siapa yang tahu. Alhamdulillah kalau memang sudah direncanakan oleh-Nya tak ada yang bisa menahan dan mengetahui. Akhirnya saya diputuskan mendapat bantuan dana dari Dikti bersama tiga orang teman saya lainnya selama studi di Belanda. Mulailah kami persiapan berangkat ke Belanda. Namun pemberitahuan dari Dikti begitu mendadak. Berita keberangkatan itu baru kami terima sehari menjelang kami terbang. Dengan persiapan seadanya, kami pun berangkat ke Belanda tanggal 25 Januari 2012 untuk menempuh fase 3 yaitu 1 tahun di Utrecht University. Setiba di Belanda, mulailah kami beradaptasi dengan Eropa. Belahan bumi yang sama sekali tidak pernah saya bayangkan di sisa hidup ini. Kuliah di salah satu universitas terbaik di dunia. Berada di Eropa yang katanya merupakan pusat peradaban dunia saat ini. Berada di kota-kota terkenal seperti Utrecht, Amsterdam, Den Hag, dan lain-lain. Bersama bule yang dulu hanya ketemu di tempat wisata, kini bertemu di mana-mana bahkan di toilet. Waktu itu, mulailah terpikir rencana mengunjungi beberapa negara di Eropa. Tak lupa untuk memenuhi angan-angan saya untuk bisa memandangi langsung rumah Einsten di Swiss. Akhirnya Jumat, 9 November 2012 saya pun berangkat ke Swiss bersama rombongan tour Pak Eko Hardjanto (Eidhoven) berangkat dari Utrecht pukul 2 dini hari bersama 12 peserta rombongan yang lain. Perjalanan ambisius 2.100 km dalam tiga hari ini sungguh luar biasa. Sesuai rencana, kami akan mengunjungi Stutgart (Jerman), Zurich, Wintertur, Lucerne, Mount Titlis, Bern, dan Interlaken. Namun tujuan utama saya hanya satu, yakni apartemen Einsten di Bern yang sekarang ini menjadi museum. Tiba di Bern malam minggu sekitar pukul 7 waktu setempat, kami disambut light show di depan gedung pemerintah kota Bern. Segera kami menyusuri jalanan indah di kota Bern ini. Tak ada yang saya pedulikan di situ kecuali untuk segera menuju ke rumah Einsten. Sesampainya di apartemen itu, apa yang saya rasakan adalah tidak jelas. Kecewa muncul karena kami tidak bisa masuk ke dalam museum itu karena sedang dalam perbaikan. Namun, saya pun berpikir, kalaupun saya bisa masuk, apakah itu artinya saya telah mencapai impian saya. Jikalau telah mencapai impian yang saya angan-angkan sejak SMA, apa yang akan saya lakukan setelah itu. Malam minggu itu, kegalauanlah yang menguasai saya karena dibingungkan oleh pikiran itu. Bahkan indahnya kota Bern pun tak ada artinya buat saya malam itu. Jawaban dari kegalauan saya itu ternyata saya temui setelah saya kembali mem-flasback yang telah saya alami selama ini. Saya kuliah di program IMPOME ini yang visinya adalah mengubah pendidikan matematika di Indonesia sedikit demi sedikit. Hal itu juga ditambah dengan apa yang menjadi pertanyaan berat saya saat masih mengajar di Surabaya. Ternyata Tuhan memang tidak memberi kesempatan saya ke Belanda ini bukan hanya untuk mengunjungi rumah Einsten, tetapi pasti ada rencana yang jauh lebih besar yang telah ditakdirkan untuk saya. Lagi-lagi, Tuhan tidak bermain dadu. Itulah yang saya rasakan. Itulah yang mulai saya kejar sekali lagi, apa mimpi saya sebenarnya saat ini. Manusia akan mati jika berhenti bermimpi. Saat kau anggap telah mencapai impianmu. Mimpi itu lebih dari sekadar yang kamu mimpikan.(Shofan Fiangga/Byu)