www.unesa.ac.id
Unesa.ac.id., SURABAYA—Indonesia merupakan negara yang beragam dari banyak aspek. Kemajemukan itu yang menjadi peluang sekaligus kekuatan. Namun, jika itu tidak dirawat dan dikelola dengan baik, justru menjadi sumber konflik sosial atau masyarakat.
Berdasarkan pengalaman Komjen Pol. Dr. (H.C). Drs. Anang Revandoko, M.I.Kom., di Brimob Polri yang dijadikan kajian ilmiah tentang "Media sebagai Resolusi Konflik Masyarakat Indonesia", ada dua hal yang paling berpotensi konflik sosial di Indonesia yaitu suku dan agama.
Indonesia, terdiri dari beberapa suku yang terdiri dari suku Jawa 56 persen, Sumatera 21,68 persen, Sulawesi 7,36 persen, Kalimantan 6,15 persen, Bali Nusa Tenggara 5,54 persen, dan Maluku-Papua 3,17 persen.
Kemudian dari aspek agama, Islam 86,88 persen, Katolik 8,42 persen, Kristen 7,49 persen, Hindu 1,7 persen, Buddha 0,75 persen dan lain-lain 0,03 persen. Menurutnya, keragaman ini menjadi kekayaan yang tak ternilai bagi bangsa Indonesia yang perlu dirawat, salah satunya lewat semangat gotong royong.
Berdasarkan fakta, masih terjadi konflik sosial di sejumlah daerah. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS), pada periode 2019-2023 terjadi 68 konflik sosial terbuka atau kerusuhan di Indonesia.
"Konflik ini bukan konflik biasa, tetapi menimbulkan korban jiwa yang mencapai 225 orang dan kerugian material sebesar 1,7 triliun," ucap Komandan Korps (Dankor) Brimob Polri tersebut dalam orasi ilmiah penganugerahan Doktor Honoris Causa di Universitas Negeri Surabaya (UNESA) pada Senin, 14 Agustus 2023.
Ada dua pendekatan yang digunakan dalam menangani konflik; pendekatan keamanan dan non-keamanan. Menurutnya, tidak semua persoalan konflik bisa menggunakan pendekatan keamanan semata. Namun, juga pendekatan bahasa dan itu menjadi hal yang utama.
"Belajar dari kasus Jayapura dan Wamena tahun 2019 lalu itu karena kesalahan penggunaan bahasa. Karena itu, pendekatan penyelesaian konflik bisa dengan pendekatan keamanan yang dipadukan dengan pendekatan bahasa atau komunikasi massa," paparnya.
Dalam konteks itu, bahasa sebagai resolusi konflik dipahami dari dua aspek. Pertama, bahasa sebagai media berbasis kearifan lokal, seperti Rumah Betang sebagai pusat penyelesaian konflik di Kalimantan Tengah dan Bakar Batu di Papua. Kedua, bahasa sebagai kuasa simbolik yang digunakan negara, lembaga atau institusi dalam menyelesaikan konflik.
"Kita (Brimob) mendekat ke sumber masalah. Negara hadir ke sumber masalah. Kita adalah representasi dari negara. Kita harus hadir dan negara tidak boleh kalah terhadap gangguan dan ancaman keutuhan Republik Indonesia," tandasnya.
Dalam kesimpulannya, jenderal bintang tiga Polri itu mengatakan bahwa kemajemukan merupakan anugerah dan kekayaan bangsa Indonesia yang harus dijaga dan dirawat. Pendekatan efektif dalam penanganan konflik yaitu bersifat multidimensi seperti pendekatan keamanan yang dipadukan strategi komunikasi melalui pemanfaat bahasa sebagai media. [*]
***
Tim Penulis: Dian Purnama/Erza/Saputra
Editor: @zam Alasiah*
Foto: Dokumentasi Tim Humas
Share It On: