www.unesa.ac.id
Unesa.ac.id, SURABAYA - Mahasiswa S-1 Sastra Indonesia angkatan 2021, Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) Universitas Negeri Surabaya (UNESA) gelar pementasan drama "Panggung Eunoia" pada Senin, 11 Desember 2023 di Gedung Pertunjukan Sawunggaling, UNESA Lidah Wetan.
Di dalamnya terdapat dua naskah drama yang dipentaskan. Naskah pertama berjudul "Manusia Baru" karya Sanoesi Pane yang kemudian disesuaikan oleh penyunting naskah yakni Dewanda Tri Puspita dan Dewanti Sri Rejeki.
Mengambil latar tahun 1940, naskah tersebut menceritakan tentang manusia-manusia dengan pemikiran kolot yang terlibat dalam konflik agama, adat, dan perjodohan.
Permasalahan lain menampilkan kelompok patriarki yang mendominasi sebagian besar pekerjaan di ruang-ruang perkantoran dan perempuan yang masih sangat sedikit mengambil bagian atau mengisi beberapa posisi di perusahaan.
Selain itu, di tengah-tengah cerita terdapat problematika para buruh pabrik tenun yang berdemo untuk menuntut penaikan upah dan mengurangi jam kerja yang terlalu berat.
Hingga suatu keadaan membuat anak dari bos pabrik tenun, yakni Saraswati jatuh cinta dengan seorang aktivis bernama Das yang menjadi pionir dalam setiap demo yang dilakukan. Pemikiran-pemikirannya tentang perubahan yang revplusioner membuat Saraswati takjub dan semakin menaruh perhatian.
Namun gerak gerik cinta Saraswati terhadap Das tercium oleh sang ayah. Sebagai bos yang terpandang dan kaya raya sudah pasti ia tak memberi restu terhadap hubungan tersebut. Terlebih Saraswati telah dijodohkan terlebih dahulu dengan Gopal, lelaki kaya raya yang merupakan anak dari teman bisnis ayahnya.
Pada akhirnya gerbong yang dikepalai sang aktivis mendapat dukungan dari beberapa pihak dan instansi berupa ratusan gulden untuk membiayai demonstrasinya.
Pihak pabrik tenun pun berdamai dengan rombongan buruh yang dikepalai aktivis. Perjanjian itu menyatakan ketersediaannya dengan menaikkan gaji sebesar 0,5% dan jam kerja yang dikurangi.
"Yang ingin kita sampaikan dari penampilan naskah ini adalah polemik buruh dari dulu hingga sekarang itu masih sama dan kompleks, antara upah dan pengurangan jam kerja" Ungkap Prismacintya sang sutradara.
www.unesa.ac.id
Kemudian naskah kedua berjudul "AUT" karya Putu Wijaya, yang kemudian disunting oleh Diningtiyas Resti Utami dan Rachmaddani Rizki Saputra.
Mengambil latar tahun 1995, sebuah pos keamanan daerah yang diisi oleh empat orang petugas menerima berbagai macam laporan aneh dan konyol.
Laporan tersebut meliputi sepasang suami istri yang mengungkapkan jika bayi mereka yang berusia enam bulan tiba-tiba hilang di kandungan. Lalu ada laki-laki bernama Pak Cung yang kehilangan video, dan pemuda bernama Inong yang dilaporkan oleh tetangganya karena telah memakan satu pohon kelapa utuh dari ujung daun hingga akar-akarnya. Dalam kasus yang berbeda Inong juga melaporkan jika nyawanya hilang akibat bunuh diri.
Kemudian laporan lain berasal dari ibu penjual beras yang menemukan lima bayi manusia di dalam kardus di depan tokonya. Tak lama kemudian datang dua pemudi bernama Lastri dan Jenar yang saling bertengkar dan adu mulut perihal masalah ejek mengejek.
Cerita pun terus berlanjut, alih-alih menangani satu persatu kasus atau laporan yang mereka terima. Para petugas justru sibuk berjudi, menonton televisi, dan mabuk-mabukan. Hingga suatu hari tragedi mengenaskan terjadi, petugas bernama Rahmat mati bunuh diri dengan cara menembak kepalanya sendiri menggunakan pistol.
www.unesa.ac.id
Berita kematian Rahmat terdengar hingga ke telinga Kepala Desa dan memerintahkan ajudannya untuk mengambil segala properti yang berpotensi merusak fokus kinerja mereka dalam melayani masyarakat.
Namun usaha tersebut terbilang gagal karena tokoh Pak Cung menghalanginya dengan berbagai cara dan modus. Diketahui bahwa Pak Cung-lah yang mensubsidi segala fasilitas mewah di kantor tersebut, termasuk komputer, radio, televisi, mesin printer, hingga seragam dan peralatan keamanan. Pejabat terkemuka itu juga yang meminta kepada petugas agar dibebaskan dari segala interogasi jika ada suatu kasus yang menimpanya di kemudian hari.
Pada akhirnya laporan-laporan yang tak kunjung ditindaklanjuti itu semakin menumpuk. Seperti bom waktu yang meledak, suatu hari rombongan pelapor bergegas menuju kantor keamanan daerah untuk menuntut penyelesaian dari kasus yang mereka laporkan. Situasi menjadi kacau, dan para pelapor saling ngotot agar dilayani terlebih dahulu.
Di tengah-tengah kegaduhan itu, muncul seorang veteran kemerdekaan yang memecah kebisingan dengan memberi wejangan atau nasihat kepada seluruh petugas maupun pelapor. Namun diakhir orasinya sang veteran malah dibunuh oleh Rahmat yang kini bangkit dari kubur, sehingga membuat kondisi kantor kembali kacau balau.
"Pesan dari penampilan naskah kedua adalah untuk menyadarkan penonton bahwa masih banyak urusan dan problematika dari bangsa kita yang belum terselesaikan secara tuntas. Bahkan untuk sekelas kantor keamanan daerah sekalipun," ujar sutradara, Nuraini Krisdyaningsih. (*)
Reporter: Saputra/Muhammad Azhar Adi Mas'ud
Editor: @zam Alasiah*
Foto: Dokumentasi Tim Humas
Share It On: