Pendidikan guru layak dikategorikan pendidikan kedinasan. Itulah inti gagasan yang disampaikan Rektor Unesa, Prof. Dr. Muchlas Samani pada Seminar Nasional Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI), Sabtu (21/01) di Rektorat Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Ia mengutip pasal 29 ayat 2 UU Sisdiknas yang menyatakan bahwa pendidikan kedinasan berfungsi meningkatkan kemampuan dan keterampilan dalam melaksanakan tugas kedinasan bagi pegawai dan calon pegawai negeri suatu departemen atau lembaga pemerintah nondepartemen. Katanya, "Memang pada pasal 29 ayat 2 tersebut pendidikan kedinasan seakan dibatasi hanya untuk pegawai negeri dan calon pegawai negeri. Namun diduga kuat istilah tersebut untuk memisahkan dengan perusahaan swasta yang berorientasi kepada bisnis. Sekolah swasta yang membantu pemerintah melayani pendidikan kini disejajarkan fungsinya dengan sekolah negeri dan persyaratan bagi guru sekolah negeri dan sekolah swasta juga sama, sebagaimana diatur dalam UU nomor 14/2005. Dengan pola pikir tersebut, maka asumsi bahwa pendidikan pendidik adalah pendidikan kedinasan atau paling tidak semi kedinasan dapat diterima nalar."
Menurutnya Pendidikan Profesi Guru (PPG) sebaiknya merupakan alur sinambung dari prajabatan dan dalam jabatan, mulai calon guru sampai pembinaan ketika yang bersangkutan sudah bekerja sebagai guru. Konsep itulah yang mulai tahun 2012 ini akan diterapkan di Unesa. Kini bangunan gedung PPG berlantai 9 yang dibangun di kampus Lidah Wetan yang akan digunakan untuk proses perkuliahan mahasiswa PPG dalam tahap penyelesaian. Rencananya gedung baru itu akan digunakan untuk perkuliahan mahasiswa 23 program studi PPG yang dibuka Unesa.
Dalam seminar yang diikuti seluruh Lembaga Pendidikan Tenaga Keguruan (LPTK) se-Indonesia itu, Rektor Unesa menyatakan bahwa kerangka pelaksanaan PPG ini harus berorientasikan user, yaitu sekolah dan lembaga pendidikan yang menggunakan lulusannya. Artinya bahwa jenis dan jumlah mahasiswa harus disesuaikan dengan kebutuhan di lapangan. Karena itu perlu dirancang pola rekrutmen calon, need assessment kompetensi dan penjaminan kualitas lulusan. Kerjasama tiga pihak, yaitu pihak penghasil, pihak pengguna, dan asosiasi profesi/keilmuan perlu dilakukan. Rektor Unesa yang juga tim nasional pengembangan profesi guru ini mencontohkan pengalaman Singapura dan Korea Selatan dalam menangani pendidikan vokasional dengan membentuk Vocational Education and Training Board (VETB) dapat dijadikan bahan kajian oleh Indonesia dalam mengembangkan sistem pendidikan guru. "Di kedua negara tersebut, VETB yang menentukan apa saja jenis tenaga vokasi yang diperlukan, berapa jumlahnya, dan apa kompetensinya, termasuk penjaminan mutu lulusannya," ungkapnya.
Kemudian untuk mengatasi masalah keterbatasan guru di daerah pelosok perlu ada rekrutmen calon mahasiswa dari pelosok daerah yang akan ditempatkan kembali ke daerah asalnya. Pengalaman selama ini menunjukkan tingkat kekerasanan guru yang bekerja di daerah nonkota besar dan bukan daerah asalnya tidak tinggi. Walaupun pada saat awal pengangkatan, mereka mau ditempatkan di daerah pinggiran, tetapi setelah bekerja beberapa tahun banyak yang minta pindah ke kota besar atau daerah asalnya. Meski demikian perlu diberi porsi tertentu adanya guru yang berasal dari daerah lain sebab guru semacam itu dapat menjadi jembatan membangun rasa kebangsaan, sekaligus menjadi jendela bagi siswa setempat karena guru seperti itu memiliki pengalaman yang berbeda dengan guru setempat. Perpaduan guru asal daerah lain dengan guru asal setempat akan saling melengkapi.
Lalu gagasan yang juga dipaparkan sekaitan dengan profesi guru adalah koordinasi antarlembaga profesi guru. Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa tidak mudah melakukan koordinasi antara lembaga-lembaga pendidikan dan latihan profesi guru seperti LPTK, P4TK, dan LPMP. Walaupun ketiganya berada di bawah Kemdikbud dan bahkan lokasinya berada di satu lingkungan kampus sulit sekali melakukan koordinasi. Instruktur pelatihan di P4TK dan LPMP sebagian juga para dosen dari LPTK. Karena Itu perlu dicari pola koordinasi yang lebih mudah. Perlu juga dicari kemungkinan "satu komando" integratif antara berbagai lembaga PPG.
Pada paparannya yang terakhir, Mantan Direktur Ditnaga Ditjen Dikti ini menyatakan bahwa jika sebutan ikatan dinas dianggap menakutkan karena ada konsekuensi untuk penempatan setelah lulus, maka istilah itu dapat diganti dengan beasiswa. "China yang berhasil mengembangkan penyiapan tenaga guru dengan pola berbeasiswa dan berasrama tampaknya dapat dijadikan bahan kajian dalam hal ini," ucapnya. Bayu_Humas Unesa
Share It On: